Sunday, February 26, 2006
Friday, February 24, 2006
[28 Hari Penuh Cerita Cinta] I Love You, Goodbye
Wish I could be the one
The one who could give you love
The kind of love you really need
(I Love You, Goodbye – Celine Dion)
Aku benci dengan keadaan ini
Aku benci karena kamu punya teman dekat
Aku benci karena aku juga punya teman dekat
Aku benci kenapa kamu begitu baik dan perhatian sama aku
Aku bencai kenapa kamu selalu bilang sayang dan kangen sama aku
Aku benci kenapa aku sendiri punya perasaan yang sama
Aku benci kenapa aku juga sayang dan kangen sama kamu
Aku benci kenapa kita harus saling kenal
Aku benci kenapa kita ‘gak bisa sama-sama
Aku benci kenapa kita harus ketemu
Aku benci karena aku jadi gak bisa sayang sama kamu
Aku benci karena kita gak bisa punya sesuatu yang lebih
Aku benci kenapa kita SAUDARA!
06.02.07 – 10:47 AM
[28 Hari Penuh Cerita Cinta] Pacarku Superstar!
Dan aku di rumah
Memandang kagum pada dirinya
Dalam layar kaca
Apakah mungkin
Seorang biasa
Menjadi pacar
Seorang superstar
(Pacarku Superstar – Project Pop)
Tiba-tiba ia meraih kepalaku. Matanya langsung menatap mataku dalam-dalam. Begitu menusuk. Lagu ‘The Way You Look at Me’ menjadi latar kebersamaan kami. Semakin lama, wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Tanpa kusadari, dengan lembut bibirnya mengecup bibirku. Aku terkesiap. Terhenti sejenak. Lalu, ia kembali mengecup bibirku… begitu lembut… kali ini aku membalas kecupannya. Ahhh… seandainya aku ini cokelat, mungkin aku sudah meleleh jadi susu cokelat kental manis… Tapi, kemesraan itu terusik. Tiba-tiba ia berlari ke pintu, dan bertanya pada seseorang di luar, “Di mana jalan rahasianya?” Lalu, ia menarik tanganku, ia berkata, “Ayo ikut aku.” Aku sempat terpana. Ia begitu keren dengan balutan t-shirt warna gelap dan celana jeans warna biru. Aku membiarkannya ia menarik tangaku. Ia berlari, aku terpaksa ikut berlari. Aku kaget, ia bilang, “Ayo, lewat sini.” Aku kaget… rasanya ini bukan jalan normal, bukan jalan rahasia normal. Ia mengajakku lewat kolong meja, menyelip di antara kursi-kursi. Aku kesulitan mengikutinya, sementara ia mulai terlihat tidak sabar. Ia melepaskan pegangannya. Aku semakin kesulitan mengikutinya. Aku terbungkuk-bungkuk mengikutinya, mencari jalan keluar. Aku kehilangan jejaknya. Sementara, ada orang lain yang terus berteriak-teriak, “Ini jalan keluarnya. Duhh… di sini… belok… belok!” Teriakan tidak sabar. Aku jadi merasa sedang mengikuti perlombaan, bukan mencari jalan pintas. Lalu, aku sudah berada di luar. Tapi, ia sudah tidak ada, sekilas aku melihatnya masuk ke dalam sebuah ruangan. Ia sudah melupakanku! Tiba-tiba, telepon berdering, dari kekasihku… ia sudah menungguku… Ia melambaikan tangannya, dan dengan lunglai, aku membalas lambaiannya. Aku berjalan ke arah kekasihku lambat-lambat, dan sekali aku menengok ke belakang… berharap ada sosok yang tadi mengecupku dengan lembut itu… Aku jadi rindu kecupan itu… Kecupan lembut dari seorang Christian Bautista…!!!
Quarter Life Fear
Primadona Angela
GPU, Cet. I – Juli 2005
224 Hal.
Buat cewek-cewek yang menghadapi krisis usia 25, novel ini cocok nih. Apalagi yang merasa dirinya gak sempurna.
Di usia 25, Belinda merasa dirinya ketinggalan banget sama teman-teman dan saudara-saudaranya. Pacar, gak punya… cantik? Gak juga… Malah, badannya makin lama makin ‘menggelembung’. Karena ibu Belinda senang banget menghibur anak satu-satunya itu dengan makanan yang enak-enak. Belinda juga sering banget berpikir kalo dia adalah a looser.
Bersama sahabatnya, Belinda berusaha mengembalikan kepercayaan dirinya, apalagi ketika ia melihat Jay, mantan pacarnya muncul kembali dengan seorang cewek yang sangat disebelinnya.
Novel ini lucu juga, lho.. ada bagian-bagian yang kocak, misalnya di Bab ‘Keluargaku Normal’ – nyeritain gimana ‘ancur’-nya keluarga Belinda…
Endingnya… tentu happy ending…
Kaya’nya Primadona Angela pengen menampilkan sosok seorang perempuan yang ‘gak ‘sempurna’, biar lebih percaya diri, berusaha meyakinkan kalau meskipun gak sempurna, semua orang (baca: perempuan), tetap berhak dan layak untuk mencintai dan dicintai…
06.02.13
Belanglicious
Primadonna Angela
GPU, Januari 2006
288 Hal.
Isi novel ini sederhana banget. Khas kehidupan remaja. Cerita anak-anak sekolah menengah atas, saling cela-celaan antara anak cowok dan cewek, ada sirik-sirikan sedikit, orang tua yang funky (pasti banyak yang berharap punya orang tua seperti ini), ada perjodohan terselubung, yang pasti ada tentu kisah cintanya.
Lietha, sering dipanggil Belang sama Aldi. Kulit Lietha memang belang, karena ia adalah atlet renang yang cukup berprestasi. Setiap hari, ada aja yang bikin Lietha sebal sama Aldi, terutama panggilan Belang itu. Karena kesal banget, Lietha berusaha mencari kelemahan Aldi untuk membalas dendam. Tapi, ternyata aksi balas dendam itu gagal, karena Aldi malah jadi idola di sekolah mereka. Karuan aja Lietha makin gondok.
Tiba-tiba, Lietha dapat kesempatan untuk jadi model iklan minuman isotonic. Berangkatlah dia ke Jepang… bersama Aldi, yang langsung ‘mengangkat’ dirinya jadi manager. Lietha makin sebel. Di Jepang, Lietha kenalan dengan cowok Jepang, pasangannya dalam iklan itu. Dan entah kenapa, Aldi koq bt banget.
Pulang ke Indonesia, malah Lietha yang jadi sebel waktu liat Aldi dekat sama saingannya waktu SD.
Seperti yang udah dibilang di atas, novel ini simple banget. Tapi, yang menarik, cerita di novel ini paling nggak memberi semangat buat para cewek yang suka minder biar gak terlalu berkecil hati.
Dan satu lagi... hati-hati... jangan suka gengsi dan sebel yang berlebihan sama orang... bisa-bisa kena 'karma'nya seperti Lietha...
06.02.13
Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek
Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek
Djenar Maesa Ayu
GPU, Cet. II - Januari 2006
117 Hal.
Djenar Maesa Ayu kembali hadir dengan kumpulan cerpennya yang seperti biasa masih bermain-main dengan topik seks yang diungkapka dengan bebas dan tanpa malu-malu.
Di cover belakang kumpulan cerpen ini tertulis ‘Peringatan Penerbit: buku ini hanya untuk pembaca dewasa dan terlarang untuk pembaca yang merasa mengerti tentang cinta.’ Jangan harap kita akan menemui cerita cinta yang indah, yang berakhir dengan kebahagiaan, yang normal, yang menggambarkan kemesraan antara perempuan dan laki-laki. Jika mengharapkan hal seperti itu, lebih baik pilih buku yang lain saja!
Dalam buku ini, lagi-lagi Djenar menyuguhkan kisah (pencarian) cinta dengan latar kepahitan atau penderitaan sang tokoh utama.
Misalnya tentang anak perempuan yang mengalami pelecehan yang dilakukan ayahnya sendiri (Lihat: Suami Ibu, Suami Saya; Hangover) atau tema perselingkuhan (Lihat: Dislokasi Cinta; Three More Days; Istri yang Tidak Pulang), atau tentang perempuan kesepian yang merindukan cinta (Lihat: Al+Ex=Cinta; Lolongan di Balik Dinding; Semalam Ada Binatang; Ikan; Nachos)
Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek sendiri yang dijadikan judul buku ini mengisahkan tentang pergulatan batin seseorang dalam memilih antara dua cinta yang ia rasakan.
Yang menarik, Djenar memasukkan ilustrasi hasil karyanya sendiri di awal setiap cerpen. Menjadi keunikan tersendiri dari buku ini.
06.02.19
Saturday, February 18, 2006
The Secret Life of Bees
Sue Monk Kidd
Review, 2005
376 Hal.
Lily Melissa Owen, gadis berusia empat belas tahun, ‘dipaksa’ percaya kalau dia sudah membunuh ibunya. Dia tinggal bersama T.Ray, ayah yang katanya tidak pantas dipanggil ‘Daddy’ dan Rosaleen, pengasuhnya yang berkulit hitam. Ketika itu, orang-orang Negro masih sering diintimidasi oleh orang berkulit putih.
Suatu hari, ketika Lily sedang berjalan-jalan ke kota bersama Rosaleen, sekelompok pria kulit putih mengejek Rosaleen. Rosaleen marah dan meludah ke salah satu sepatu para pengejeknya. Tentu saja orang-orang kulit putih itu marah, Rosaleen dipenjara, Lily juga ikut masuk penjara, tapi langsung dibebaskan. T Ray marah besar. Di penjara, Rosaleen pun tidak aman, dia dipukuli karena tidak mau minta ma’af dan harus masuk rumah sakit.
Sementara itu, Lily yang sudah tidak tahan dengan kelakuan ayahnya, nekat kabur dari rumah. Berbekal beberapa barang peninggalan ibunya, yaitu foto sang ibu dan gambar Bunda Maria berkulit hitam, Lily pergi dari rumah dan dia juga berhasil ‘mengeluarkan’ Rosaleen dari rumah sakit.
Tujuannya adalah ke Tiburon, nama kota yang tertulis di belakan gambar Bunda Maria. Secara tidak sengaja, ketika Lily berada di sebuah toko, ia melihat toko itu menjual madu dengan gambar Bunda Maria yang sama dengan yang ia miliki. Dari penjaga toko itu, ia pun sampai di rumah Bortwright Bersaudara – August yang bijak, June yang temperamental, dan May yang perasa. Ketiga saudara itu punya peternakan lebah dan memproduksi madu.
Lily terpaksa harus berbohong agar ia dan Rosaleen bisa tinggal di rumah mereka. Lily diajar cara merawat lebah.
Selama tinggal di sana, akhirnya terjawablah misteri kematian ibunya. Dan apa hubungan ibunya dengan gambar Bunda Maria yang dimilikinya.
Kekecewaan, kesedihan dan kegembiraan jadi satu dalam novel ini. Lily yang polos ‘dipaksa’ untuk jadi dewasa demi mencari tahu apa yang selama ini menjadi pertanyaan. Lily belajar tentang menerima dan berdamai dengan perasaan benci terhadap ibunya yang sempat muncul ketika ia mengetahui kebenaran. Ia juga belajar menerima kenyataan atas ‘tuduhan’ membunuh ibunya yang sering dilontarkan T. Ray. Dan juga ia belajar tentang cinta tanpa memandang warna kulit.
06.02.13
Friday, February 17, 2006
[28 Hari Penuh Cerita Cinta] Terbaik Untukmu
Bila ku selalu
Membuatmu marah
Dan benci padaku
Kulakukan itu semua
Hanya untuk membuatmu bahagia
Mungkin kucuma
Tak bisa pahami
Bagaimana cara
Tuk ungkap maksudku
Aku cuma ingin jadi
Terbaik untukmu…
(Terbaik Untukmu – Tangga)
Laki-laki: Kamu itu salah
Perempuan: Kenapa aku jadi salah?
Laki-laki: Karena kamu terlalu bertele-tele
Perempuan: Lho, kenapa?
Laki-laki: Aku lagi sibuk, tapi tetap saja kamu nyerocos terus.
Perempuan: Lalu di mana salahnya?
Laki-laki: Harusnya kamu peka. Kalo aku lagi sibuk, lagi ribet, ya udah, jangan ngomong terus.
Perempuan: Tapi, aku kan cuma mau ngingetin kamu aja. Aku cuma mau kasih perhatian.
(Perempuan mulai terisak… Rasa kecewa mulai memasuki hati)
Laki-laki: Nah itulah kamu, tidak peka. Gak usah lah kamu panjang lebar bilang ‘Jangan lupa makan’, ‘Jangan lupa sholat’ kalau aku lagi ribet, lagi bicara sama orang.
Perempuan: Terus aku jadi salah?
Laki-laki: Iya.
Perempuan: Di mana salahnya dengan memberi perhatian?
Laki-laki: Saatnya yang tidak tepat.
Perempuan: Apa untuk memberi perhatian, harus diatur kapan waktunya?
Laki-laki: Tidak. Tapi kamu harus peka. Kapan harus bicara, kapan harus diam.
Perempuan: Jadi aku salah?
Laki-laki: Iya.
Perempuan: Lalu, kenapa kamu tidak peka, kalau aku sedih dan kecewa kamu bilang salah?
Laki-laki: Aku tahu. Ma’afkan aku. Tapi kamu juga harus ngerti, dong. Pakai logika kamu.
(Perempuan berbisik dalam hati: “Sejak kapan memberi perhatian harus pakai logika? Perhatian itu masalah perasaan.”)
Perempuan: Iya, aku ngerti.
(Perempuan berharap masalah ini tidak diperpanjang… Kecewa semakin mendalam)
Laki-laki: Ya, udah. Ingat… pakai nalar.
Perempuan: Iya.
- - -
Perempuan: Sayang, kalau naik motor, jangan sambil telepon, dong.
Laki-laki: Gak pa-pa, koq. Tenang aja.
Perempuan: Ya, tapi nanti kamu gak konsentrasi.
Laki-laki: Udah, tenang aja, ya.
Perempuan: Nanti kalo ada yang nge-rem mendadak, terus kamu lagi gak ngeh, gimana?
Laki-laki: Aku bilang gak pa-pa, ya udah, kamu gak usah banyak omong.
(Suara laki-laki meninggi. Perempuan kaget!)
Perempuan: Aku kan cuma khawatir sama kamu.
(Suara perempuan melirih… pelan…)
Laki-laki: Kalo kamu banyak omong, aku malah jadi senewen. Kamu terlalu khawatiran.
Perempuan: Salah lagi caraku perhatian sama kamu?
Laki-laki: Iya
Perempuan: Ma’afkan aku.
- - -
Perempuan: Kamu minta aku perhatian sama kamu, tapi setiap aku perhatian, malah kamu liat bagian yang salah, bukan niatku, bukan kesungguhanku.
Laki-laki: Udah, lakukan saja. Jangan banyak omong!
(Perempuan hanya diam… Rasa kecewa menumpuk di dada)
06.02.05 – 02:34 PM
[28 Hari Penuh Cerita Cinta] Aku Bukan Untukmu
Aku menyesal t’lah membuatmu menangis
Dan biarkan memilih yang lain
Tapi jangan pernah kamu dustai hatimu
Mungkin ini terbaik untukmu
Janganlah lagi kau mengingatku kembali
Aku bukanlah untukmu
Meskiku memohon dan meminta hatimu
Jangan pernah tinggalkan dirinya
Untuk diriku
(Aku Bukan Untukmu – Rossa)
Kulihat kamu bersama dirinya… Begitu mesra. Kamu dan dia. Kamu dan dia sedang asyik memilih buku berdua. Dulu kamu juga begitu. Dulu kita juga begitu, kan? Kamu tahu aku suka sekali membaca. Aku minta kamu membantuku memilihkan buku. Bahkan tak jarang kamu memberiku kejutan, tiba-tiba datang membawa buku yang aku idam-idamkan.
Kamu yang memperkenalkan aku pada tulisan seorang Pramoedya Ananta Toer. Kamu bilang, “Jangan baca buku yang nge-pop terus, dong.”
Dan hari ini… aku melihat kamu. Kamu dan dia. Sambil kamu rangkul dia. Kamu dan dia tertawa. Kamu mengacak-acak rambutnya. Tatapan mata kamu… sayaaangggg sekali tampaknya.
Kamu dan dia. Kamu dan dia berpindah-pindah dari satu rak buku ke satu rak buku lainnya. Sama seperti mataku. Mataku juga berpindah-pindah, mengikuti gerak kamu dan dia.
Kamu dan dia. Dulu… aku yang mengenalkan kamu dengan dia. Dia adalah teman kuliahku. Entah kenapa, ketika pertama kali kamu berjabat tangan dengannya, aku tahu akan ada sesuatu di antara kamu dan dia. Ada perasaan, dia akan jadi orang yang spesial buat kamu. Tapi… dulu… aku adalah seseorang yang spesial untuk kamu… Dulu…
Dulu… sebelum aku melakukan kebodohan, sebelum aku melakukan ketololan, sebelum aku menyadari betapa kamu adalah yang terbaik untukku.
Dan hari ini… ketika aku melihat kamu. Kamu dan dia. Aku hanya bisa tersenyum… senyuman di hati yang kecewa… senyuman di hati yang penuh penyesalan.
Kamu memang tidak seperti bayanganku akan seorang pasangan. Aku ingin kamu romantis… tapi kamu tidak bisa, kamu bilang, “Aneh ah.” Aku ingin kamu memanggil aku ‘sayang’, menyebut aku bukan dengan ‘loe-gue’, tapi dengan ‘aku-kamu’, tapi lagi-lagi kamu bilang, “Aneh. Kaku.”
Lalu, kamu pergi. Kamu meninggalkan aku. Kamu pergi ke luar negeri, ke negeri Bunga Tulip, mengejar cita-cita kamu.
Dalam kenangan yang samar-samar, aku sendiri di sini.
Tadinya aku ingin setia. Aku ingin kamu melihat aku berdiri di tempat yang ketika aku mengantar kamu.
Tapi…
Suatu hari, dengan bodoh, aku tergoda kata-kata manis dari laki-laki lain. Kata-kata manis, sikap manis dan romantis yang dulu aku harapkan dari kamu, tapi tidak pernah kamu berikan. Tidak pernah kamu tunjukkan. “Malu,” begitu kata kamu dulu.
Aku tergoda… aku terbuai… aku lupa kamu… aku lupa janji setiaku… aku lupa semua…
Hanya dia… dia yang selalu aku ingat… Dia… tiba-tiba menjadi tempat tujuanku bermimpi… tempat kuingin melabuhkan angan-anganku…
Kulupakan kamu… Kutepis kamu… Kubilang aku ingin pisah… Aku bilang aku ingin kita jalan sendiri-sendiri… Kulakukan ini demi bersama pujaanku yang baru…
Kamu kecewa… kamu begitu marah. Tapi… itulah kamu. Sebesar apa pun kamu marah, kamu tidak pernah menunjukkan emosi kamu. Semua kamu simpan sendiri. Kamu merelakan aku pergi…
Tak perlu menunggu lama bagiku untuk menyesali keputusanku. Ternyata pujaan baruku tak seindah di awal. Ternyata kata-kata manisnya hanya di permukaan saja. Hanya di ujung bibirnya saja. Ketika kucoba menyelami hatinya, yang kudapat hanya lautan hitam yang penuh amarah dan emosi.
Aku takut… aku menyesal… Aku ingin pergi… Aku ingin lari… Menghilang..
Kucoba mencari kamu lagi. Kucoba menemukan kamu lagi.
Tapi… apa yang kutemui ketika aku menemukan kamu. Kamu kaget… kamu terkejut… dan, kamu begitu berubah. Kamu jadi dingin, dan semakin kaku. Kamu malah marah padaku. Aku merasa ada penolakan dalam diri kamu. Kamu seolah hendak berkata, “Jangan ganggu aku lagi!”
Kamu bilang, “Untuk apa kamu cari aku lagi? Dulu aku memohon dan berharap agar kamu kembali. Tapi, kamu malah berkeras untuk putus.”
Aku terdiam… kata-katanya benar.
Kamu melanjutkan, “Lalu, sekarang kamu datang lagi. Mencoba memintaku lagi, berharap balik lagi seperti dulu. Aku sudah terlanjur sakit. Kamu tahu itu? Sakit…”
Aku masih terdiam…
Kata kamu lagi, “Kamu egois. Di saat kamu mulai merasa kehilangan, kamu mencari aku. Seolah mau kasih harapan.” Kamu terdiam sejenak, menghela napas, lalu berkata lagi, “Tapi, saat aku coba meraih harapan itu, kamu tidak berani mewujudkannya. Aku seolah kamu permainkan. Dan sekarang kamu datang lagi. Aku rasa, kesempatan kamu sudah tidak ada.”
Aku mulai bicara, bahwa kamu memang benar. Aku tidak akan pernah menyadari bahwa kamu begitu berarti, sampai akhirnya aku baru merasa kehilangan. Kamu jadi begitu berarti untukku.
Dan hari ini… ketika aku lihat kamu dan dia, aku hanya bisa menyesal. Kamu dan dia begitu bahagia.
Aku hanya mencoba mencari sebuah harapan…
06.02.04 – 03:46 PM
[28 Hari Penuh Cerita Cinta] Masterpiece
I found the masterpiece in you
The work of arts is true
And I treasure you, my love
(Masterpiece – Atlantic Stars)
Niko tersenyum puas sambil memandang sebuah sketsa wajah di depannya. Gambar wajah seorang gadis, tersenyum… seolah sedang menatapnya. “Ini karya besarku.” Dielusnya gambar itu… Lalu dibungkusnya dengan hati-hati seolah barang itu akan terpecah-belah jika ia tidak hati-hati.
Setelah semua rapi, lagi-lagi, Nino tersenyum puas dan lega. Ia pun membaringkan badannya di tempat tidur. Terlentang memandang langit-langit kamarnya, Nino melamun dan pelan-pelan terpejam… siap menyambut datangnya mimpi…
- - -
Shaira merasa aneh, dari tadi ia merasa ada yang sedang mengikutinya. Beberapa kali ia sengaja berhenti tiba-tiba dan menoleh ke belakangnya dengan cepat, dan beberapa kali pula ia melihat seorang laki-laki yang sama yang selalu pura-pura melakukan kegiatan lain setiap ia menoleh. Entah pura-pura mengikat sepatu, pura-pura membaca pengumuman di papan, atau yang lebih anehnya lagi, pura-pura membaca buku di tengah jalan! Laki-laki itu membawa sebuah bungkusan. “Jangan-jangan… bom!” pikir Shaira ketakutan.
Karuan hati Shaira jadi tidak tenang. Buru-buru ia berjalan menuju kantin. Karena kantin adalah tempat yang paling ramai di kampusnya – jadi kalau orang itu mau macam-macam, ia tinggal teriak. Lagipulan, ia memang janjian ketemu Anissa di sana.
Ternyata Anissa sudah ada di sana, di tempat duduk favorit mereka. Bangku pojok yang menghadap danau. Sambil meletakkan barang-barangnya, Shaira langsung bercerita, “Kaya’nya ada yang ngikutin aku deh, Nis.”
Anissa menatapnya heran, “Ngikutin gimana? Siang begini kan, tujuan semua orang hampir sama – ke kantin. Jadi jangan gr diikutin dong, ah.” Anissa tertawa.
“Beda, Nis. Perasaanku gak enak. Dan emang bener, setiap aku berhenti dan nengok ke belakang, laki-laki itu langsung pura-pura lagi ngapain gitu.”
“Oooo… jadi cowok nih yang ngikutin,” Anissa menggoda sahabatnya itu, “Pantesan kamu grogi!”
Shaira langsung cemberut.
“Ngomong-ngomong, kamu udah pernah liat cowok itu di kampus kita?” Anissa bertanya, lalu menyeruput jus alpukatnya.
Sejenak Shaira mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat wajah laki-laki itu, “Kaya’nya sih dia anak angkatan di atas kita deh. Eh, sebentar…” Shaira sejenak berdiri, celingak-celinguk melihat ke arah seluruh penjuru kantin, mencari sosok yang membuat ia sedikit ‘parno’ alias paranoid siang ini, lalu ia duduk lagi. “Gak ada ternyata.”
“Siapa yang gak ada?”
“Cowok itu. Aku pikir dia ada di kantin ini.”
Anissa tertawa lagi, “Makanya jangan gr, ah. Kali-kali aja, emang kebetulan dia jalan di belakang kamu.”
Shaira termenung, “Iya juga kali ya.”
- - -
Malam ini, Niko masih memandang sketsa wajah gadis manis itu. “Aku sudah membuatnya takut. Aku tidak punya niat jahat, koq. Besok aku harus memberikan ini padanya. Harus… sebelum terlambat.”
- - -
Malam yang sama, Shaira termenung di kamarnya. Di pikirannya berkelebat wajah laki-laki itu. Berbagai pertanyaan berlompatan di benaknya, “Siapa sih dia? Aku yakin dia memang mengikutiku. Tapi, kenapa?” Entah kenapa, jantung Shaira serasa berdebar, berdetak lebih cepat, bukan karena takut… tapi, karena… “Mudah-mudahan besok aku bisa melihat dia lagi. Koq aku jadi pengen liat dia ya?”
Shaira memejamkan matanya… berharap laki-laki itu datang dalam mimpinya.
- - -
Shaira sengaja keluar dari ruang kuliahnya lebih akhir dari teman-temannya. Anissa pasti sudah menunggunya di kantin. Sebelum keluar, ia melongok, menengok kiri-kanan, tapi hatinya sedikit kecewa, “Koq dia gak ada?”
Shaira pun berjalan menuju kantin. Langkahnya lambat. Sesekali ia menoleh ke belakang. “Tidak ada.” Kecewa…
Tiba-tiba… deg, Shaira melihat laki-laki itu berjalan dari arah yang berlawanan. Sama seperti kemarin, laki-laki itu membawa sebuah bungkusan. Laki-laki itu sempat menghentikan langkahnya ketika melihat Shaira. Shaira juga kaget, ia mempercepat langkahnya, masuk ke kantin.
“Nis… Nis…” napas Shaira terengah-engah, “Dia ada lagi… di atas… !” tangan Shaira menunjuk ke arah tangga kantin. Lalu ia meneguk jus mangga milik Anissa.
“Hei..hei… grogi, sih, boleh… tapi jangan jus mangga yang jadi korban dong…!” Nissa cemberut melihat jus mangganya sudah habis separuh. “Duduk dulu, Ra. Cerita yang betul.”
Shaira duduk, sambil terus menoleh ke arah tangga masuk. Ia tidak melihat laki-laki itu. “Ke mana ya dia?” tanyanya bingung.
“Gimana sih? Katanya takut, tapi koq nyariin?”
“Penasaran aja.”
“Duh.. penasaran… apa penasaran?”
“Abis dia aneh. Dari kemarin, dia selalu bawa-bawa bungkusan. Dan entah kenapa sikapnya aneh banget.”
“Hmmm.. jangan-jangan dia mau kasih kado ulang tahun.”
“O…” Gelembung mimpi seolah muncul di atas kepalanya, berharap sebuah kejutan manis di hari ulang tahunnya.
Tiba-tiba Anissa melihat jam tangannya. “Waduh, aku harus masuk kelas dulu nih. Kuliahnya Pak Aldo. Kalau telat, gak boleh masuk. Duluan ya…” Anissa buru-buru berlari, sementara Shaira masih duduk sambil membaca buku novel.
“Permisi.”
Shaira terlonjak. Ia kaget mendengar ada suara. “Hah? Dia!”
“Iya… “
“Boleh duduk di sini?”
Shaira melihat ke kiri kanan. “Masih banyak bangku kosong, kenapa juga harus di sini?” Tapi, ia menjawab, “Boleh aja.”
“Terima kasih.” Sikap laki-laki itu tampak grogi. Shaira kembali melanjutkan membaca novelnya, sementara dalam hatinya masih bertanya-tanya, “Kenapa sih nih orang?” Sesekali diliriknya laki-laki itu dari sudut matanya.
“Ehmmm… Shaira…”
“Eh.. iya…”
“Saya ganggu ya?”
“Hhhh… gak koq. Kenapa?”
Laki-laki itu mengulurkan tangannya, Shaira menatap dengan bingung, dan membalas uluran tangan itu. “Niko”. “Hh.. Shaira.”
“O ya, selamat ulang tahun ya. Aku liat tadi banyak yang kasih selamat ke kamu.”
“Terima kasih.” Shaira tersenyum.
“Aku mau kasih ini,” Niko berkata seraya mengangsurkan sebuah bungkusan ke Shaira.
“Terima kasih.” Shaira tersenyum lagi, hatinya berdebar kencang.
“Tolong kasih ke Anissa ya. Bilang ini buat dia.”
“Lho?” Shaira bingung, “Maksudnya? Jadi dari kemarin kamu ngikutin aku buat kasih ini? Kenapa gak kamu kasih sendiri?”
“Malu, Ra.”
Shaira jadi sewot, gelembung mimpinya seolah pecah, dia menjawab dengan nada sedikit tidak enak, “Ya udah, ntar aku kasih.”
“Terima kasih ya.” Niko beranjak meninggalkan Shaira yang masih mendongkol.
- - -
“Lega… Semoga dia menyadari kalau aku suka dia. Sketsa itu adalah karya terindahku untuk Anissa.” Niko tersenyum puas, memandang sang pujaan hati yang sedang di dalam kelas dari kejauhan.
- - -
“Nih, buat kamu!” Shaira memberikan bungkusan dari Niko ke tangan Anissa.
“Kenapa kamu? Koq judes banget?” Lalu memandang bungkusan di tangannya dengan bingung, “Apaan ini?”
“Gak tau. Buka aja.”
“Dari siapa?”
“Uhhh… buka dulu deh…!”
Anissa merobek kertas bungkusan dan ia terperangah, Shaira juga.
“Niko…” bisik Anissa tertahan.
Shaira menatap sahabatnya dengan heran, lalu bertanya, “Kamu kenal Niko?”
Wajah Anissa bersemu merah, tanpa perlu jawaban, Shaira tahu, hati sahabatnya sedang berbunga-bunga… sementara hatinya justru kecewa… kejutan itu ternyata bukan untuknya…
06.02.03
(happy birthday to myself…)
Elizabethtown
The girl Kirsten Dunst
Why she’s gutsy In Cameron Crowe’s lates film, she plays Claire, a flight attendant who meets Drew Baylor (Orlando Bloom) on the way to his late father’s memorial. With her passionate optimism, she makes Drew her “project” and shows him how it is to be truly alive.
(Female Singapore – January 2006 – page 223)
Cameron Crow (Almost Famous) directs this romantic comedy starring Orlando Bloom and Kirsten Dunst. Drew Baylor (Bloom) losses his job after causing his company to lose $972 million and his father passes away soon after. On his way to Elizabethtown, Kentucky, he meets an optimistic flight attendant, Claire (Dunst), who helps him change the course of his life.
(Elle Singapore – January 2006 – page 84)
Jangan berharap banyak hal romantis di sini. Bener deh… kalau berharap Kirsten Dunst sama Orlando Bloom bikin meleleh, rasanya gak juga tuh. Bahkan secara keseluruhan film ini cenderung membosankan.
Drew Baylor (Orlando Bloom) dipecat dari perusahaan sepatu, karena ia membuat kerugian besar banget bagi perusahaannya. Pas di apartemennya dia lagi siap-siap mau bunuh diri, adiknya telepon, kasih tau kalo ayah mereka meninggal.
Drew dapat tugas untuk menjemput jenazah ayahnya di Elizabethtown, sebuah kota kecil di Kentucky. Pergilah dia naik pesawat. Satu pesawat isinya hanya beberapa orang. Karena pesawat bisa dibilang kosong, si Pramugarinya, Claire (Kirsten Dunst), jadi ‘kurang’ kerjaan. Mampirlah dia ke tempat duduk Drew, dan ngobrol ngalor-ngidul, padahal si Drew, jelas-jelas gak menunjukkan ketertarikan. Dan setelah landing, sebelum ninggalin airport, Claire kasih postcard yang dibaliknya ada nomer telepon dia. Hmmm…
Drew melanjutkan perjalanan menuju Elizabethtown. Ternyata, orang-orang di sana begitu ‘sayang’ sama ayahnya. Drew disambut dengan hangat. Dalam masa-masa berkabung itu, Drew sedikt banyak berusaha mengenang sang ayah.
Suatu malam lagi gak ada kerjaan, Drew nelpon ke rumahnya, adiknya bilang ibu mereka lagi stress, terus nelpon mantan pacarnya, tapi gak mendapat sambutan yang dia harapkan, dan akhirnya dia nelpon Claire, dan mereka ngobrol selama berjam-jam… bener-bener berjam-jam. Akhirnya mereka ketemu lagi.
Gak ada tanda-tanda mereka jatuh cinta. Tapi, yang pasti ya adalah sedikit ketertarikan di antara mereka. Bahkan mereka sempet bilang kalo mereka gak mungkin bareng-bareng.
Adegan yang paling mengharukan di film ini, waktu Drew jalan-jalan untuk menebar abu kremasi ayahnya. Drew berhenti di setiap tempat yang ditunjukkin Claire dalam peta bikinannya. Gak ngerti juga sih, apa dasar Claire nunjukin tempat-tempat itu, apakah itu tempat kesukaan ayah Drew atau gimana.
Endingnya… happy ending for both of them.
Di film ini, ada Alec Baldwin yang jadi boss Drew dan Susan Sarandon yang jadi ibu Drew. Orlando Bloom… cakep banget kalo pake kemeja, dibanding kalo dia pake t-shirt aja. Hehehe…
06.02.11
Friday, February 10, 2006
[Book Review] Lost in Teleporter
Lost in Teleporter
Tria Barnawi
GPU, Desember 2005
312 Hal.
Pernah membayangkan gak, kalau Indonesia akan jadi negara yang super canggih? Gak akan ada lagi yang namanya KRL, tapi diganti Kereta Kecepatan Tinggi. Atau kalau mau lebih canggih dan lebih cepat lagi, silahkan menggunakan teleporter. Hanya dalam hitungan detik… bzzzz… kita bisa langsung sampai ke tempat tujuan. Tapi, kebayang juga gak, kalau si alat super canggih ini bisa bikin kita kehilangan hidung dalam arti yang sebenarnya. Bukan seperti kehilangan muka alias malu.. tapi benar-benar kehilangan hidung. Lho koq bisa??
Itu yang dialami Dewey ketika ber-teleport ke Bandung. Gara-gara tasnya ketinggalan, dia harus mengulang proses teleport yang membuat dia harus kehilangan hidung. Hidungnya sih ternyata gak benar-benar hilang, tapi tertukar sama hidung orang lain – yang celakanya gak rela kalau harus kembali ke hidungnya yang lama!
Kita akan dibawa berjalan-jalan ke sebuah kantor tempat teleport diciptakan, perusahaan yang namanya NatioTrans. Demi menemukan hidungnya, Dewey mendatangi kantor NatioTrans, ‘menuntut’ agar hidungnya dikembalikan. Selain dipusingkan karena gara-gara pencarian hidung, Dewey juga dipusingkan dengan persiapan pernikahannya dengan Nilam. Apa kata orang melihat ‘hidung’nya yang baru? Bisa-bisa dikira operasi plastik. Ditambah lagi, salah satu pegawai NatioTrans, Meylana, tiba-tiba menarik hatinya.
Jadi, disamping kita diajak ‘terombang-ambing’ dengan perasaan Dewey, kita juga disuguhi cerita bagaimana proses awal teleporter itu. Akan banyak ditemui istilah-istilah yang ‘ajaib’. Tapi, jangan takut, ada penjelasan di footnote biar pembaca gak bingung.
Berlatar belakang Indonesia abad 22, ketika semuanya sudah serba canggih, novel ini adalah sebuah novel tentang cinta yang dibungkus dalam nuansa science fiction. Seolah ingin ‘menggaet’ dua tipe pembaca yang berbeda, satu yang suka science fiction, satu lagi yang suka cerita cinta-cintaan. Menyentuh, lucu, dan informatif juga.
Silahkan berangan-angan… semoga kita bisa merasakan transportasi yang serba canggih dan nyaman itu suatu hari nanti… asal gak pakai ‘tukaran’ hidung atau yang lainnya…
06.01.30
[CeritaJalan-Jalan] Having Fun in Genting
Tujuan kita hari ini ke Genting Highland… mau ‘gambling’.. hehehe…
Tadinya, kita mau ikut tour dari hotel. Tapi, setelah dihitung, dipikir dan dipertimbangkan, gak jadi, karena mahal banget. Kita meng-arranget tour kita sendiri. Jadi kita pergi naik taksi, charge-nya sekali jalan RM80 udah sampai di ‘puncak’. Genting ini boleh dibilang daerah Puncak-nya Malaysia.
Taxinya kecil, di belakang kita duduk bertiga sempit-sempitan. Waktu di jalan tol, supirnya masih nyupir dengan smooth, tapi entah kenapa waktu keluar tol dan di jalan menuju Genting yang mulai berkelok-kelok, supirnya mulai matiin AC mobil, kaca dibuka, dan tiba-tiba dia ngebut kenceng banget, sampai 100km/jam. Udaranya sih emang sejuk banget, jalanannya mirip di sekitar Puncak Pass, tapi kita yang di belakang, udah sempit, pake terpontang-panting karena supirnya gila-gilaan bawa mobilnya. Untung jalanan 1 arah, tapi serem juga kan kalo pas di tikungan, dengan kiri-kanan tebing.
Kita berhenti di Hotel Genting. Udara mulai dingin. Masuk hotel, kita nyari jalan menuju casino. Ternyata letaknya ada di lantai paling atas. Sebelum masuk casino, kita harus periksa paspor dulu. Mungkin karena kita bertampang melayu kali ya, ditambah lagi mama yang pake jilbab (bikin mama gak betah di dalam casino ini). Katanya, kalo orang melayu gak boleh masuk casino. Pas udah sampai di dalam… ada dua ruangan yang luas banget di kiri dan kanan. Satu sisi penuh dengan meja-meja roulette atau apalah namanya, pokoknya meja judi deh. Satu ruangan lagi, penuh dengan mesin jackpot dengan berbagai jenis mainan. Pengunjungnya sebagian besar orang cina, dan di antara mereka udah pada tua-tua. Kaya’nya kalo mereka dateng ke sana emang udah niat banget. Ada yang sambil ngerokok, ada yang begitu dateng, langsung buka sepatu dan naikin kaki ke kursi. Bener-bener prepare untuk stay lama di sana. Jadinya gak cuma sekedar iseng-iseng aja gamblingnya.
Bingunglah di sana mau ngapain… ngeliatin orang-orang pada berjudi, gak ngerti mereka ngapain. Aku meratiin salah satu meja roulette. Ada sekitar 5 orang di satu meja. Satu bandar ada di tengah meja. Terus, pemain-pemain itu pada masang taruhan, pake koin warna-warni di nomer-nomer tertentu. Kalo waktunya udah abis, si bandar akan bunyiin bel, dan muter meja roulette dan ngeliat di nomer mana dadunya jatuh. Di sisi meja, ada calon pemain yang sibuk nyatet nomer mana aja yang sering keluar, sebelum akhirnya dia masang taruhan. Yang jadi bandar, hampir gak pernah bersuara, cuma tangannya aja yang bergerak. Papa coba-coba ikutan main roulette. Waktu papa salah pasang taruhan, si Bandar ngomong pake bahasa cina, malah ada pemain yang kasih penjelasan ke papa. Ehhh… dasar emang gak hoki, kalah deh RM20…
Terus, pindah ke ruang sebelah, ngeliatin orang main jackpot. Macem-macem jenis jackpotnya. Si maya mau nyoba main jackpot. Akhirnya, ketemu sama nenek cina yang baik dan ngajarin maya main jackpot. Hokinya maya lumayan juga, dia menang RM5 dengan modal RM10. Sayangnya di dalam casino gak boleh foto-foto, jadi gak ada deh foto maya lagi main jackpot. Petugas-petugas di casino suka pada jutek-jutek. Waktu maya udah selesai main, aku nyari petugas buat minta ‘hasil’ permainan maya. Karena gak keliatan mana petugasnya, aku tanya ke bandar di salah satu meja roulette, tapi dia hanya jawab dengan gelengan kepala. Terus, aku liat petugas lain, cewek, pas aku bilang maksudku apa, dia jawab dengan seadanya, tanpa senyum. Apa di casino gak boleh beramah-tamah ya? Setelah dapet uangnya, pamitan sama si nenek, dan dengan baiknya, dia bilang, “Enjoy your holiday, be careful with your bag.” Dan dia lanjut main lagi.
Setelah dari casino, tujuan selanjutnya ke Snow World. Letaknya ada di Genting Theme Park. Di theme park ini banyak banget permainan, mulai dari yang biasa-biasa aja, sampai yang bikin sport jantung. Mama sama papa gak mau ikut masuk snow world, jadi aku berdua sama maya aja. Tiket masuknya RM16, udah termasuk voucher discount untuk beli t-shirt, sama minuman di Freezing Bar.
Di pintu masuk, ada monitor pengukur suhu di dalam, di situ tertulis, minus 6o Celcius! Sebelum masuk, kita harus pake jaket yang tebel dulu, sama disediain juga sepatu bot dan sarung tangan. Kebayang dong, gimana dinginnya! Aku berdua aja sama maya, sementara yang lain bareng temen-temennya.
Di pintu masuknya aja, begitu dibuka … wuiiihhh… langsung berasa hawa dinginnya… Di dalam ruangan itu, penuh salju buatan. Brrr… emang dingin banget… Ada pondok-pondokan dari kay dengan papan luncur. Jadi kalo mau seru-seruan, bisa meluncur dari pintu pondok di atas… dan mendarat di salju. Ada juga Freezing Bar-nya. Letaknya di bawah pondok kayu itu. Bar terbuka dengan interior dari es balok. Ya mejanya, ya kursi-kursinya. Ada tempat main meluncur pake ban.
Biar pun cuma berdua, tapi seru banget… kita main lempar-lemparan salju aja. Makin lama, kaki dan tangan mulai berasa beku. Napas mulai beruap dingin. Pipi udah beku. Kita berdua udah niat mau foto di dalam Snow World ini. Tapi sempet sebel nungguin giliran foto. Jadi, ada dua orang India yang ‘memonopoli’ tukang fotonya. Semua tempat mau dicoba, dan setiap kali kita ngomong, mereka bilang, “This is the last one.” Tapi.. tetap aja, berkali-kali mereka foto, sampai kita harus ngikutin ke mana mereka mau pose. Akhirnya, kebagian juga deh, giliran kita. Kita foto dengan latar pondok kayu dan freezing bar. Dan pas kita foto, ada hujan salju buatan dari busa.
Setelah akhirnya kebagian foto, aku sama maya main ban seluncur. Serem, tapi seru. Pas meluncur, kenceng banget, sampai pas menjelang di bawah, aku udah taku nabrak tembok. Untung ditahan sama petugasnya. Kata maya, pas lagi meluncur aku teriak keras banget!!
Sayang, di dalam Snow World gak boleh foto.
Setelah dari Snow World kita nyari jalan menuju Cable Car. Ngelewatin toko snack yang jual makanan/buah kering. Ada beberapa di antaranya belum pernah aku dengar namanya. Seperti biasa, kalo ngeliat cemilan, papa langsung ‘ngiler’ pengen nyoba semuanya.
Untuk naik ke cable car, kita harus bayar tiket RM 4. Ada juga ticket return, tapi kalo emang kita mau balik lagi ke atas.
Di cable car, katanya sih muat untuk 8 orang. Tapi kita berempat aja rasanya udah penuh. Hmmm… lumayan serem juga naik cable car. Di awal perjalanan, cuaca berkabut. Ada rekaman suara yang bilang, kalo jalur cable car ini yang terpanjang di Asia Tenggara, kira-kira 3,4 km.
Aku emang gak phobia ketinggian, tapi… serem aja… melintas di atas ‘hanya’ bergantung pada kekuatan kabel, ngelewatin hutan-hutan tropis yang lebat banget. Tapi, untung gak pake ngeliat harimau dari atas. Ada sih, patung-patung monyet, harimau dan penduduk asli. Udah gitu, setiap sambungan bikin serem. Kalo cable car-nya nanjak, juga serem. Cable carnya jalan ‘menurun’ serem juga. Ahhh.. aku sampe takjub ngeliat orang yang sendirian di dalam cable car.
Setelah keluar dari Cable car… lega rasanya… hehehe…
Kita balik ke KL pake bis. Dan ternyata ongkosnya jauh lebih murah dibanding naik taksi. Bisnya juga enak. Setiap jam ada. Pas jalan, hujan lumayan lebat. Dingin banget… Kita turun di terminal Puduraya. Masih hujan lumayan lebat. Naik taksi ke hotel.
Sampai hotel, di lobby ‘disambut’ sama Pak Azmi. Naik ke kamar dulu, istirahat sebentar & beres-beres. Terus kita turun makan ke Ampang Plaza lagi. Hari ini menunya Wonton Prawn noodle.. Enak.. seger… Plus minumnya Teh Tarik.
Sempet muter-muter di Ampang Plaza. Mama nyari kerudung. Terus, kita lanjut lagi ke KLCC. Nyoba naik kereta. Cuma bayar RM 1, langsung berhenti di KLCC. Pas masuk.. hmm… kecium bau Roti Boy.. ternyata dari kemarin kita bolak-balik di dekat counternya, tapi gak ketemu. Cuma nyium baunya aja.
Muter-muter di KLCC, lagi-lagi ke Vinci. Kali-kali ada New Arrival. Hehehe.. gimana bisa.. baru kemarin liat, berharap ada New Arrival.
Balik ke hotel lagi, mandi dan nyari makan. Lagi-lagi ke foodcourt Ampang Plaza. Tapi ternyata, jam 7an, foodcourtnya udah tutup. Untung ketemu tempat yang jual makanan Thailand. Kebetulan di dekat foodcourt lagi ada festival Thailand. Tom Yang Kung-nya enak banget… bener-bener asli… (iya lah…) Kuahnya… asem.. pedes dan segar…
Malem ini, kita nunggu dijemput sama anaknya Auntie Naemah. Mau diajak ke rumahnya di Semenyi. Tunggu-tunggu.. baru jam 10an datengnya. Perjalanan ke Semenyi jauh banget. Aku udah ngantuk banget. Ngelewatin jalan tol terus. Sampai di sana, tempatnya gelap.
Ngobrol-ngobrol sampai jam 12 malem. Dijamu makanan kecil, plus ‘dipaksa’ minum kopi khas Malaysia. Padahal aku gak terlalu suka kopi, untuk gak terlalu pahit.
Dari Semenyi, kita diajak muter-muter Putrajaya. Ini kompleks pemerintahan. Kantornya perdana menteri. Tempatnya bagus banget. Lampu-lampunya keren. Ada mesjidnya, ada beberapa jembatan yang berbeda desainnya. Sayang banget kita udah pada ngantuk. Jadi selama Tuti, anaknya Autie Naemah, cerita, aku udah beberapa kali tertidur. Beneran… sayang banget…
Jam 2 baru sampai hotel lagi… langsung ‘tewas.’
[CeritaJalan-Jalan] Kuala Lumpur... Here We Come...
Hari ini kita berangkat ke KL. Jam 7 check out dari hotel. Kita berangkat ke tempat bis di Copthorne Orchid Hotel. Sampai sana, kaya’nya masih kepagian. Ruang tunggunya aja blom buka. Hotel ini lumayan bagus juga. Kaya’nya banyak orang asing yang kerja di tambang kali ya, soalnya aku liat dari seragam mereka yang kaya’ seragam montir itu. Sempet dikasih ‘refreshement’ di coffee shop-nya, teh dan kue brownies.
Jam 8.30, bis berangkat. Bisnya jenis double decker, tapi tempat duduk hanya di bagian atas, dengan harga S$49, namanya Nice2. Bisnya bagus dan nyaman. Dan aku sama maya duduk paling depan. Hehehe.. seru juga liat jalanan dan pemandangan sekitar dari atas. Bisnya jalan pelan-pelan, gak ada tuh ngebut-ngebutan a la mayasari or metro mini.
Turun di perbatasan, di Johor (?) untuk periksa-periksa imigrasi keluar Singapore. Terus, gak berapa lama, kita turun bisa lagi untuk periksa imigrasi lagi masuk ke Malaysia. Pas periksa mau masuk Malaysia, kita harus bawa-bawa koper turun dari bis, padahal diperiksa juga nggak. Cuma sebentar lagi…
Di bis dapet makan yang lumayan enak, sandwich isi sosis ayam yang gede banget. Beneran enak, lho… Tadinya mau dimakan pelan-pelan… eh.. gara-gara keenakan, jadi cepet banget abisnya.. Hahaha.. laper judulnya!! Tapi, entah kenapa, koq keripiknya dikasih keripik pisang yang manis, rada gak matching kan??
Sinar matahari yang terang banget bikin silau dan ngantuk. Jadi tertidurlah aku di perjalanan.
Kita berhenti di tempat peristirahatan. Udara cerah, cenderung panas. Kita berhenti kira-kira ½ jam. Duduk-duduk… lumayan buat ngelurusin kaki. Di sana banyak toko-toko kecil yang jual minuman, makanan kecil, ada juga yang jual makan besar. Wah… di sini mirip Indonesia. Ada yang jual nasi padang or nasi lemak, supir bisnya makan pake tangan. Hehehe.. papa udah ngiler tuh.. (hmm.. gue juga sih…). Sayup-sayup di sebuah toko, kedengaran lagunya Rossa. Lho.. makin berasa di Indonesia, nih… Mulai kedengaran bahasa Melayu, bukan bahasa Inggris or Chinesse.
Lalu kita lanjut jalan lagi… perjalanan mulai membosankan, karena pemandangan di sekitar cuma pohon kelapa sawit. Jalanan bersih dan rapi… Tidur aja lagi, deh…
Perjalanan kira-kira 6 jam. Jam ½ 3an, kita sampai di Kuala Lumpur. Langsung seneng begitu liat Menara Kembar Petronas. Yakin deh.. ini Kuala Lumpur (another ‘kenorakan’)
Kita berhenti di Hotel Heritage. Coba kalo dirawat, bangunan ini bagus pastinya. Kesan pertama liat Kuala Lumpur, lebih mirip Jakarta, gak seperti Singapore, tapi emang sih, masih lebih bersih dan teratur dari Jakarta.
Di depan Hotel Heritage, ada Old KTM, stasiun kereta api lama, bangunannya juga bagus, malah lebih mirip musium, istana atau mesjid daripada stasiun.
Setelah mama & papa beli tiket bis untuk pulang ke Singapore, kita menuju Crown Princess Hotel, letaknya di daerah Ampang. Di lobby hotel, langsung disambut sama bell captain yang ramah banget. Salah satunya, namanya Pak Azmi. Waktu aku dan maya lagi liat-liat brosur, dia langsung ngedeketin kita, dan tanya, “Baru datang? Mau pergi ke mana?” dengan logat melayunya (hehehe.. di sini gak perlu ‘bingung’ dengan bahasa inggris yang ‘belepotan’). Waktu kita bilang pengen pergi ke Genting Highland, dia langsung nawarin untuk ikut tour.
Beres-beres di kamar, terus kita makan. Hotel ini nyambung sama pertokoan Ampang Plaza. Di basement-nya ada foodcourt. Bingung juga milih mau makan apa, koq kaya’nya enak-enak dan pengen dicoba semua. Akhirnya, berdasarkan rekomendasi papa, aku milih makan Claypot Mee Tee. Mie dimasak dalam mangkok yang panas, isinya ada ayam, udang ditambah telor ceplok. Duh, makannya musti sabar-sabar, kalo gak lidah bisa ‘kebakaran’. Minumnya, iseng nyoba ‘Air Mata Kucing’, sepertinya asalnya dari buah dan rasanya mirip cingcau. Gak ngerti juga kenapa namanya Air Mata Kucing, mungkin bentuk biji buahnya mirip air matanya kucing, kali ya…
Udah kenyang, kita balik ke hotel. Nunggu shuttle bus yang mau bawa kita ke pertokoan Suria KLCC. Pertokoan ini letaknya pas di belakang Petronas Twin Tower. Sebenernya isi mall ini sih, sama aja seperti mall-mall di Jakarta, banyak tempat makannya dan besar.
Terus, ada kura-kura juga. Ada banyak ikan-ikan, dari yang kecil sampai yang disebut ‘giant fish’ (namanya lupa). Ada hiu, mulai dari yang kecil-kecil sampai yang gede banget. Di dalam akuraium yang kita liat pake ban berjalan, ada replica kapal harta karun yang ditemukan di perairan Malaysia. Sementara kita jalan, di atas kita, hiu pada mondar-mandir.
Ada ‘nemo’ di akuarium yang lebih kecil, ada kuda laut, ada bintang laut, belut. Abis puas liat-liat ikan, kita mampir dulu ke souvenir shop-nya. Sayang, gantungan kuncinya gak bagus, magnetnya juga biasa. Jadinya, daripada gak ada, aku beli hiasan yang bisa dipake untuk jepit kertas atau foto, hiasannya ada dua kuda laut yang lagi ngambang di air.
Abis dari Aquaria, ketemuan sama mama di depan toko Vinci, sepatu dan selop buatan Malaysia yang lagi ngetop banget di Indonesia. Padahal waktu di Singapur, aku bilang sama maya, kalo aku gak niat beli Vinci, tapi begitu masuk tokonya, koq, ya lucu-lucu sih… Setelah berlama-lama di Vinci, kita keliling KLCC lagi. Nyari makan, tiba-tiba kecium bau Roti Boy, tapi pas dicari-cari gak ketemu tempatnya di mana.
Isetan di KLCC lagi ada sale. Tadinya yang boleh masuk, hanya yang punya member card aja, tapi karena papa bilang kita turis, akhirnya dibolehin masuk. Tapi, di dalemnya rame banget, jadi pusing dan males mau liat-liat. Akhirnya kita keluar, aja. Liat-liat KLCC di lantai atasnya, yang isinya butik-butik.
Pas udah sore, kita keluar ke taman yang ada di belakang KLCC, ada air mancur dan banyak orang yangduduk-duduk. Tadinya mau foto dengan latar Petronas, tapi karena terlalu deket, jadi susah mau ambil fotonya.
Pas udah cape’, muter-muter cari makan, tapi bingung mau makan apa, udah gak ada ide, akhirny, mentok di KFC. Hmmm.. kalo makan di Singapore sama di KL, gue gak puas sama sambelnya, rasanya asam pedas, jadi kurang seru makan KFCnya. Meskipun, enak juga sih, soalnya udah lama gak makan KFC.
Pulang ke hotel, naik taksi… teler lagi…
05.09.21
[CeritaJalan-Jalan] Welcome to Singapore....
Jam 4 kita udah berangkat dari rumah menuju bandara Soekarno-Hatta. Hmmm… sebersit mulai timbul rasa kangen sama Fayyaz, keponakanku semata wayang yang masih tertidur nyenyak. Untuk semalem masih sempat nyium pipinya yang semakin gembil itu. Waks… koq jadi melankolis begini???
Ok… lanjut lagi cerita perjalananku…
Subuh-subuh di airport ternyata udah rame. Cepet-cepet antri untuk check in. Kita naik pesawat Philippines Airlines. Ternyata, banyak TKW yang juga naik pesawat yang sama mau berangkat ke Manila, China dan Kolombo.
Ternyata pesawat berangkat tepat waktu jam 6.20, gak delayed seperti yang pernah dibilangin salah satu travel agent.
Begitu sampai Changi Airport, dengan noraknya, aku sama maya bilang, “Wahh… akhirnya sampe juga di Singapore, May…!!” Bahkan kita sempet photo-photo dulu di airport sebelum berangkat menuju hotel.
Kita ke hotel naik taksi. Supir taksinya lumayan ramah, ngajak papa ngobrol terus. Rasanya seger banget, liat pemandangan yang lain dari Jakarta. Pemandangan yang bersih, banyak pohon dan bunga-bunga. Kota yang rapi… dan yang penting… gak ada macet!
Sampailah kita di Supreme Hotel. Ternyata… hotelnya kecil… hmmm ya, sorry deh… bukan hotel berbintang. Emang sih, dari Jakarta, rada kurang informasi. Ngeliat kamarnya… hmmm… biasa banget…Mama udah sempet sebel aja. Tadinya mau beres-beres dan istirahat dulu, jadi males. Akhirnya, tanpa buka sepatu, cuci muka dan lain-lainnya, kita langsung aja pergi menuju orchard. Jalan kaki.. dan ternyata, hotel ini gak terletak di ‘main’ Orchard Road. Hotel kita letaknya di Kramat Road (atau Kramat Lane, ya?). Melewati Le Meridien Hotel dulu, barulah kita sampai di pertokoan Orchard Road. Cuaca agak panas, dan karena masih lumayan pagi, sekitar jam 10an, banyak pertokoan yang belom buka.
Kebetulan lewat Singapore Visitors Centre, mampirlah kita ke sana. Tempat ini enak banget, kebetulan di luar lagi panas banget, begitu masuk… wahh.. sejuknya… Di tempat ini, ada berbagai macam brosur tentang Singapore, mau tentang Orchard, China Town, Little India. Sentosa Island, pokoknya berbagai tempat yang menarik di Singapore, sampai soal kesehatan dan pendidikan, di sini ada. Lengkap banget, bahkan disediain gak hanya dalam bahasa Inggris, ada juga bahasa Jepang, China, kalo gak salah, bahasa Arab juga ada, deh.. Di sini juga ada info tentang hotelnya. Kaya’nya Singapore sadar banget, kalo ‘hidup’ mereka sebagian tergantung dari pariwisata, makanya mereka prepare banget yang seperti ini, bener-bener informative. Gak hanya brosur yang menarik, petugas di sana pun bener-bener helpful. Dengan ramah dan jelas, mereka kasih tau info apa yang kita butuhin. Di sini, papa tanya di mana bisa pesen tiket bis untuk berangkat ke Malaysia. Untung aja kita mampir ke sini, kalo gak kita bingung di mana mau pesen tiket. Dan… rasanya pengen semua brosur diambilin… abis bagus-bagus, colorful dan eye-catching.
Akhirnya papa pergi sendiri ke tempat pemesanan tiket bisa. Kita nunggu di Centrepoint. Seingetku, dulu pertokoan ini lumayan bagus. Tapi, koq sekarang rada sepi dan gak ok. Bingung mau liat-liat apa di sini, karena gak ada yang menarik, sementara, rasa cape’ dan laper udah mulai muncul. Kita bertiga duduk-duduk sebentar. Mampir ke Times Book Store. Tempatnya kecil dan lagi berantakan, sepertinya mereka lagi menata ulang tokonya. Jadi kaya’ Times di Jakarta yang udah pada tutup. Mungkin karena tempatnya kecil, jadi gak terlalu semangat milih bukunya. Tapi, sempet bingung, milih antara beberapa buku, bingung milih Yann Martel yang baru, Alexander McCall Smith yang baru, atau ‘plesetan’-nya Da Vinci Code, The Va Dinci Cod. Kaya’nya sih buku terakhir ini lucu, bukunya kecil, covernya mirip sama Da Vinci Cod. Aku lupa nyari parody-nya Harry Potter. Akhirnya, aku milih buku Alexander McCall Smith – 44 Scotland Street. Pengen nyoba baca bukunya, belom pernah soalnya.
Abis ‘ubek-ubek’ di Times, kita duduk aja sambil nunggu papa. Untungnya, sekitar jam 1an, gak terlalu lama nunggu, papa dateng. Udah bawa tiket bus untuk ke Malaysia. Kita makan dulu di foodcourt-nya. Sempet bingung mau makan apa, abis takut ada yang gak halal. Untung di foodcourt itu ada satu tempat yang jual masakan melayu. Jadilah kita pesen makan di situ semua. Mama & maya pesen paket nasi lemak, aku pesen kwetiaw, papa pesen mee rebus (katanya sih, mee rebus ini termasuk makanan khas Singapore). Ngeliat paket nasi lemak-nya mama & maya, kaya’nya seru juga tuh. Isinya lengkap, mulai ayam goreng, telor dadar (di sana ditulis ‘telor dada’), ada ikan bilis, ada teri kacangnya. Sementara kwetiaw-ku, juga lumayan enak, isinya ayam plus seafood. Harga makanannya, rata-rata S$ 3,5 – 4. Lumayan murah.
Setelah makan dan cukup istirahat, kita jalan lagi. Tujuan kita mau ke Suntec City Mall. Naik MRT dari Somerset ke City Hall. Ada sedikit cerita norak bin malu-maluin di sini. Seingetku, dulu waktu beli tiket MRT di mesin tiketnya, belum pake touch screen (atau aku aja yang lupa, ya??), sempet kebingungan gimana cara milih tujuan kita. Dan yang lebih norak lagi, waktu mau lewat pintu palang menuju kereta, harus masukin tiket seperti kaya’ mau naik busway. Aku bingung, dong, nyari lobang untuk masukin tiketnya, tapi ternyata, tiketnya gak dimasukin, tapi di-scan di mesinnya, baru palangnya kebuka. Waks, untung lagi gak banyak orang. Maya udah ngomel-ngomel, “Malu-maluin banget sih!”
Turun di City Hall. Untuk menuju ke Suntec, melewati pertokoan, City Link. Kalo dipikir-pikir, rasanya semua pertokoan di Singapore, bisa nyambung satu sama lain, tanpa kita sadari, tau-tau kita udah ada di tempat lain. City Link, tempatnya bagus. Sempet mampir ke Charles & Keith. Wah, kalo diitung-itung, harga sepatu dan sendal Charles & Keith jadi murah banget. Tapi, tahan diri dulu… karena blom mau belanja, daripada kopernya berat pas berangkat ke Malaysia. Ngeliat MPH Book Store yang gede… sempet tergiur pengen masuk, tapi, pastinya kalo udah masuk, ada aja yang pengen dibeli. Tahan diri lagi…
Untuk sampai di Suntec, kita melewati tangga penyebrangan dulu. Cuaca masih panas. Suntec ini besar banget. Lagi menyusuri Suntec, liat counter Singapore Duck Tours, tour keliling Singapore (kalo promo-nya bilang: Singapore Heritage Tour). Bisa pilih, yang pake bis yang namanya Hippo Tour, atau pake kapal amphibi, namanya Duck Tour. Akhirnya, aku sama maya ikut Ducky Tour, bayar tiket sebesar S$ 33. Lumayan mahal juga, sih… tapi rasanya seru aja, liat Singapore pake kapal. Mama & papa gak ikut, lebih milih istirahat dan keliling suntec.
Jadi kendaraan yang kita pakai ini berbentuk kapal bermotor, tapi juga bisa jalan di darat, makanya dia disebut kendaraan amphibi. Tour guide-nya sempet cerita ‘sejarah’ si kapal bebek ini. Katanya, dulu kapal ini pernah dipakai sebagai tentara Amerika waktu Perang Vietnam. Ada dua kapal yang disediakan untuk Duck Tour. Kapal yang kita pakai namanya, ‘Darcy’, sedangkan kapal satunya yang lagi ‘istirahat’, adalah ‘pacar’-nya si Darcy ini, namanya ‘Darla’. Entah kenapa yang kebayang adalah pasangan Donald dan Daisy Duck. Kesannya genit sih, namanya.
Sewaktu kita jalan keluar dari Suntec menuju Marina Bay, tour guidenya cerita tentang ‘filosofi’ Suntec. Jadi, Suntec ini terdiri dari 5 tower yang kalau diliat dari atas berbentuk telapak tangan kanan. Kalo gak salah, tower 1 itu si jari ‘kelilingking’.
Terus, kita juga melewati ‘Fountain of Wealth’ yang juga terletak di lingkungan Suntec, yang airnya bukan ‘mancur’ ke luar, tapi ke dalam. Katanya,ini melambangkan rejeki yang terus mengalir. Dan katanya ini adalah air mancur terbesar di dunia, soalnya masuk Guinness Book of Records.
Menurut Feng Shui-nya, Fountain of Wealth ini melambangkan lingkaran kesempurnaan dan kesatuan. Fountain of Wealth merupakan pusat dari 5 Tower dan Suntec City Mall. 5 Tower itu sendiri melambangkan 5 elemen dasar, Besi (Metal). Kayu (Wood), Air (Water), Api (Fire) dan Bumi/Tanah (Earth). Kalau semua elemen itu digabungkan akan menimbulkan energi yang positif. Kata Feng Shui lagi, posisi Suntec City itu pas banget untuk keberuntungan dan kesukesan. (sumber dari brosur Foutain of Wealty – Suntec City – www.sunteccity.com.sg)
Kalo malem, ada pertunjukkan ‘Aqua Cinema’, ada pertunjukkan lasernya. Kaya’nya sih bagus banget (kalo liat di gambar).
Lanjut perjalanan, DUCK Tour kita.
Sampai di Marina Promenade, kita melewati sedikit pohon-pohon sebelum nyebur ke air. Waktu mau nyebur, tour guidenya bilang, “Our captain will make a little splash.” Ternyata little splash-nya itu lumayan bikin yang duduk di pinggir jadi basah. Lalu, kita mulai menyusuri Singapore melalui Marina Bay.
Dalam perjalanan, kita lewat di bawah jembatan terpanjang di Singapore, yang namanya diambil dari nama Presiden ke dua Singapore, Benjamin Sheares. Katanya untuk melintas dari bagian barat ke bagian timur singapore kalau melalui jembatan itu hanya butuh waktu 30 menit. Wow…
Terus, kita juga melewati si ‘Durian’ – Esplanade – theaters on bay. Gedung theater yang terkenal, salah satunya karena bentuknya atapnya yang runcing-runcing mirip kulit duren. Katanya kalo diliat dari atas, bentuk dua buah durian ini, sebenarnya adalah giant microphones.
Lalu, kita melewati patung Merlion, yang jadi simbol Singapore. Ternyata, Merlion itu ada 3 buah, yang kita liat namanya Mama Merlion, sementara yang letaknya membelakangi Mama Merlion, bentuknya lebih kecil, namanya Baby Merlion. So, where is Papa Merlion? Ternyata, Papa Merlion ada di Pulau Sentosa. Salah satu turis bule iseng nanya, “Are they divorce?” Di deket patung Merlion, ada hotel Fullerton, yang kalo aku pernah baca di koran, termasuk heritage hotel, yang didalamnya bagus… dan mahal, tentunya.
Sampai di depan Merlion, menjelang jembatan Anderson Bridge, nama salah satu gubernur Singapura, kapal berbalik arah, menuju jalan pulang. Kembali kita ngelewatin jembatan Benjamin Shears. Dikasih liat 3 gedung tertinggi di Singapore. Ternyata, Westin Stamford Hotel (apa Westin Plaza, ya?) yang sekarang namanya jadi The Swissotel The Stamford, bukan lagi gedung tertinggi. Hotel itu sekarang jadi gedung nomer empat tertinggi. Satu lagi filosofi Cina yang dipake di Singapore, kaca di The Ritz Carlton bentuknya segi delapan atau oktagon (dikasih tau, sih istilah cina-nya, tapi lupa). Katanya, menurut kepercayaan Cina, ada cermin berbentuk segi delapan yang dipercaya bisa menolak bala.
Pic: St. Andrew's Cathedral
Keluar dari air, kita diajak melewati gedung-gedung tuanya Singapore, seperti Raffles Hotel, Supreme Court, daerah The Padang, St. Andrew’s Cathedral, gereja Anglican tertua, dan Civilian War Memorial Monument. Monumen ini dibangun untuk mengenang korban perang dunia ke II, di mana di monumen itu juga dikubur para korban. Monumen terdiri dari 4 pilar, yang melambangkan 4 etnis yang ada di Singapore – Cina, Melayu, India dan etnis minoritas lainnya.
Lalu lewat Singapore Cricket Club. Aku jadi inget cerita lucu di sini. Duluuuuu… mungkin 10 tahun yang lalu kali, waktu jalan-jalan ke Singapura bareng mama, papa, ayuk, mira and maya, kita diajak makan malem sama istri temen Papa ke sini. Kita semua pake baju santai, alias Cuma nge-jeans and pake t-shirt. Sampai di sana, kita gak boleh masuk, karena ternyata kalo mau makan di sini harus rapi. No jeans, no t-shirt. Istri temen Papa lupa kasih tau kita, sementara dia sendiri udah pake baju rapi. Jadi kita harus balik lagi ke hotel and ganti baju. Baru kita balik ke sana lagi, and makan malem.
Iseng-iseng, tour guide-nya kasih tau bentuk Marina Mandarin Hotel yang kaya’ gajah. Kalo diperhatiin, iya juga, sih…
Di Duck Tour ini , ada games buat ngedapetin pluit berbentuk mulut bebek. Aku dapet satu, setelah berhasil jawab pertanyaan nama gedung theater di Singapore. Lumayan, oleh-oleh buat Fayyaz.
Tour ini lumayan seru… lumayan nambah pengetahuan tentang Singapore.
Setelah tour selesai,kita sempet nyari letak Fountain of Wealth di dalem Suntec City. Pas ketemu, kita liat air mancur yang dikelilingin pagar besi. Di situ ada tulisan, kalo kita keliling air mancur ini tiga kali, sambil tangan kanan kita menyentuh air mancurnya dan wishper our wish, katanya sih bakal terkabul. Jadilah, kita ngelilingin air mancur ini. Heheh.. kali aja, our wishes come true..
tujuan selanjutnya ke Esplanade. Gak tau pasti letak Esplanade ini di mana. Dari Suntec, udah keliatan atap durennya itu. Kita baca aja petunjuk di setiap underpass yang kita lewatin. Tapi, koq ya gak nyampe-nyampe… jauh banget ternyata.
Begitu nemuin underpass yang banyak poster-poster pertunjukan, jadi semangat lagi, karena mikir, ini pasti udah deket sama Esplanade. Tiba-tiba kita udah ada di dalam ruangan yang dingin, ada piano, dan kaya’ tangga yang di atasnya ada kreasi anak-anak kecil yang lucu. Jadi ada kupu-kupu yang dibikin dari botol-botol plastik dan dicat warna-warni. Maya bilang, “Ini udah sampe Espalanade?” Terus dia keluar, dan pas masuk, maya bilang, “ Ya ini… we’re under the durian.”
‘Perjuangan’ selanjutnya, nyari jalan menuju atap, biar bisa foto dengan latar ‘duren’. Naik tangga lagi… waduh… berat bener perjalanan ini. Sempet nemuin jalan buntu, akhirnya coba belok ke arah lain, dan sampailah kita di atap, dengan pemandangan duren yang begitu deket karena ada di samping kita.
Atapnya ini ada tempat duduk-duduk dan taman, dengan pemandangan ke arah Marina Bay. Kita bisa liat Merlion dan gedung-gedung di Singapore.
Males banget ngebayangin harus balik lagi menuju City Hall. Jauhnya itu… di tengah perjalanan, gue beberapa kali duduk di kursi istirahat yang ada di Suntec, di City Link. Rasanya, kaki udah susah banget diajak kompromi.
Di stasiun City Hall lumayan rame, karena pas jam orang pulang kantor. Sampai di Somerset, mampir lagi ke Centerpoint, makan di tempat yang sama dengan menu yang beda, abis udah ‘mati’ ide mau makan di mana. Malem ini aku pesen, hainam chicken rice with black pepper sauce. Waduh.. nasinya banyak bener….
Waktu jalan kaki mau balik ke hotel, bunyi ‘gluduk-gluduk’ keras, dan anginnya kenceng. Kaya’nya mau hujan lebat. Semakin deket hotel, semakin cepet jalannya, biar cepet sampai. Rasanya udah pengen berbaring aja di tempat tidur dan meluruskan kaki…
05.09.20
Flightplan
Karena cape’, gak sengaja dia ketiduran, dan pas bangun, tiba-tiba dia ngeliat anaknya udah gak ada. Panik banget. Akhirnya dia maksa biar semua awak pesawat nyari anaknya sampai ke dalam tempat mesin dan tempat barang. (ternyata isi ‘perut’ pesawat itu gede bangettt…)
Yang bikin panik, ternyata nama anaknya memang gak ada dalam daftar penumpang, dan gak ada satu pun yang liat dia sama anak kecil. Akhirnya, Kyle sempet dianggap gak waras, paranoid lah, depresi lah. Sampai-sampai, dia harus diborgol karena sudah meresahkan seluruh penumpang.
Penonton emang diajak untuk mikir juga kalo si Kyle memang benaran berhalusinasi. Tapi, endingnya lumayan gak disangka-sangka. Dan seperti biasa, Jodie Foster kebagian jadi perempuan pinter, yang banyak akal. Karena dia tahu ‘isi’ pesawat, tanpa takut dia bisa menjelajah pesawat, bahkan minta pendaratan darurat untuk bisa meriksa seluruh pesawat. Tapi, Jodie Foster keliatan udah tua ya… apa karena tuntutan peran sebagai perempuan yang lagi kacau emosinya.
Overall… bagus juga…
06.02.04
[28 Hari Penuh Cerita Cinta] Kasih Tak Sampai
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap
Menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita
Berdua…
(Kasih Tak Sampai – Padi)
Kata siapa kasih tak sampai harus dialami anak-anak muda model Romeo dan Juliet?
Kata siapa kasih tak sampai harus berakhir dengan kematian?
Kata siapa kasih tak sampai harus tentang sepasang laki-laki dan perempuan?
Kisahku tidak begitu… tidak satupun dari hal di atas…
Aku mengenalnya di Bandung. Ketika itu aku menemani suamiku, Mas Aryo dalam sebuah acara yang di adakan oleh kantor suamiku. Ia adalah suami teman kantor Mas Aryo. Tentu saja perkenalan pertama hanya sebatas basa-basi, saling mengenalkan pasangan masing-masing. Hanya sepintas itulah aku mengenalnya. Dari sana kutahu namanya, Danu.
Tapi, aku bertemu lagi dengan Danu di sebuah pesta pernikahan teman kuliahku. Ketika itu aku terpaksa datang sendirian, karena Mas Aryo juga harus menghadiri pesta pernikahan di tempat lain. Kami sepakat datang sendiri demi menghemat waktu dan alasan praktis.
Tak sengaja kami berdiri bersebelahan ketika pengantin memasuki ruangan. Ketika saling celingak-celinguk mencari seseorang yang kami kenal. Tiba-tiba saja, kami saling lihat. Dan tentu saja, saling menyapa. Ternyata dia juga datang sendirian. “Istriku lagi nungguin Dion.” Dion ternyata adalah anak semata wayangnya yang ketika itu sedang sakit.
Sepanjang pesta itu, praktis kami hampir selalu berdiri berdampingan. Kadang-kadang kami bergabung dengan teman kami masing-masing, tapi kadang-kadang kami mengambil makan bersama.
Ketika waktu mendekati pukul 8.30, aku bilang aku harus segera pulang. Dan Danu bertanya, “Sama siapa pulangnya?”. “Naik taksi,” kataku.
Sebagai laki-laki tentulah dia tidak tega membiarkan aku pulang sendiri. Dia menawarkan diri untuk mengantarku. Aku ragu-ragu sejenak, lalu kutelepon Mas Aryo untuk minta ijin diantar oleh Danu, dan Mas Aryo mengijinkan, bahkan Mas Aryo sempat berbicara dengan Danu, Mas Aryo bilang dia amat berterima kasih karena Danu mau berbaik hati mengantar istrinya pulang.
Di jalan, kami berbicara tentang keluarga kami masing-masing. Tapi, lebih banyak Danu yang bercerita tentang Dion, jagoan kecilnya yang berumur 3 tahun. Sedang lucu-lucunya, begitu katanya. Lalu ia bertanya, “Anak kamu sudah berapa?” Aku hanya menggeleng. Dia tampak merasa bersalah, “Ma’af.” Ia menyentuh tanganku sekilas.
Entah dorongan apa yang membuatku tiba-tiba jadi lancar bercerita dengannya. Aku bercerita, tentang pernikahanku yang sudah berusia 5 tahun, tapi masih belum dikaruniai anak. Betapa aku juga merindukan kehadiran anak di dalam keluargaku. Tentu saja aku tidak bercerita tentang masalah di kamar tidur. Itu hanya urusan pribadiku dengan suamiku.
Tiba-tiba saja, aku merasa nyaman bercerita dengannya. Aku merasa menemukan teman bicara yang mengerti perasaanku. Dan sejak malam itu, aku jadi akrab dengannya. Kami sering makan siang bersama, karena tempat kerjanya ternyata tidak jauh dari tempat kubekerja. Mas Aryo tidak keberatan dengan kedekatanku dengan Mas Danu (ehem… sekarang aku tidak hanya memanggil namanya, tapi dengan embel-embel ‘Mas’). Istri Mas Danu juga ok-ok saja. Hanya teman-teman kerjaku, gank ‘Siti Sirik’, mulai menghembuskan gosip yang tidak-tidak. Katanya aku selingkuh lah, aku punya TTM alias Teman Tapi Mesra lah, macam-macam gosipnya.
Acara weekend kami terkadang juga diisi dengan saling berkunjung. Kadang-kadang Mas Danu berserta Mbak Maria – istrinya – dan Dion datang ke rumah kami. Atau gantian kami yang datang ke rumah mereka.
Aku juga sangat senang bercakap-cakap dengan Mbak Maria. Dia ramah dan baik hati. Aku jadi punya teman curhat baru. Pernah sekali waktu aku sakit, dan Mbak Maria dengan telaten mengurusku karena ketika itu juga Mas Aryo sedang keluar kota. Aku merasa nyaman di dekat Mbak Maria.
Ketika Mas Aryo tahu aku sangat dekat dengan Mas Danu, ia tidak merasa keberatan. Tapi, justru kebalikannya, ketika ia tahu aku sangat dekat dengan Mbak Maria, Mas Aryo malah sangat khawatir. Ingin aku tertawa geli karenanya. Aku memang menyayangi Mbak Maria, malah terkadang aku merasa rindu, kangen dan selalu ingin berada di dekatnya.
Tapi, aku coba mengerti kekhawatiran Mas Aryo. Semua ini tidak lain karena masa laluku. Sebenarnya, dulu aku terpaksa menikah dengan Mas Aryo, karena orang tuaku tidak mau menerima punya anak yang tidak ‘normal’. Aku tidak mencintai Mas Aryo, cintaku sudah dibawa pergi oleh seorang perempuan bernama Maura.
Itulah sebabnya sampai saat ini, rumah tanggaku belum dipenuhi tawa ceria anak-anak, langkah-langkah kecil tertatih, karena memang aku tidak bisa melakukannya dengan Mas Aryo.
Tapi, pasti banyak yang bertanya-tanya kenapa Mas Aryo mau bertahan denganku? Mungkin ada yang bilang, “Bodoh banget sih jadi cowok, kaya’ gak ada perempuan lain yang normal!”
Kami hanya bisa tersenyum mendengar omongan orang di belakang kami. Kalau Mas Aryo bisa menerimaku… kenapa aku tidak bisa menerima Mas Aryo yang juga tidak ‘normal’?
06.02.02
Friday, February 03, 2006
[28 Hari Penuh Cerita Cinta] Surat Cinta
Surat cintaku yang pertama
Membikin hatiku berlomba
Seperti melodi yang indah
Kata-kata cintanya
Padaku….
(Surat Cinta – Vina Panduwinata)
Hari ini hari ketiga Dania sebagai murid SMU. Hari-hari ‘perploncoan’, hari-hari para senior ‘bebas’ ngerjain anak baru. Apalagi anak-anak perempuan yang punya wajah tergolong cantik, putih dan ‘bening’ (begitu istilah yang didengar Dania dari teman-teman cowoknya), mereka tidak hanya akan langsung diserbu para senior cowok untuk sekedar minta nomor telepon, tapi juga akan diserbu senior-senior cewek yang merasa ‘keberadaan’ mereka terganggu, merasa tersaingi dengan datangnya wajah-wajah baru yang segar.
Begitu lonceng tanda istirahat berbunyi, Ibu Zakiah, guru matematika, langsung keluar. Tapi, belum sempat para murid bernapas lega, para senior yang jadi panitia ‘plonco’ atau bahasa halusnya ‘orientasi siswa’ menyerbu masuk. Ada yang sok ja-im alias jaga image (terutama untuk senior cowok), ada yang ja-wib alias jaga wibawa, ada yang langsung teriak-teriak, bentak-bentak (berlaku untuk senior cewek). Siswa-siswa yang sempat gembira karena bisa istirahat, langsung mengkeret dan terdiam. Pasrah menunggu ‘kejutan’ apa lagi yang akan mereka dapat dari senior mereka. Dania sempat melirik ke arah senior cowok yang kelihatan paling cool, Kak Samudra (hmmm… nama aja menunjukkan ke-cool-annya). Kak Samudra bukan ketua OSIS, bukan ketua panitia, tapi dia memang salah satu anggota seksi acara, seksi yang paling heboh, paling kreatif, paling iseng dalam acara orientasi ini.
“Heee… diem… semua… !!!!”
“Apa lirik-lirik gue???” salah seorang senior cewek membentak siswa perempuan yang duduk di depan.
Sementara si siswa perempuan itu, hanya bisa tertunduk, dan berkata – berbisik tepatnya, “Ma’af, Kak.”
“Kak? Emang gue kakak loe?!” suara Kak Monika, senior cewek yang paling ‘tajam’ mulutnya.
“Ada tugas baru untuk kalian.” Kali ini giliran Kak Samudra yang berbicara. Dengan suaranya yang tenang, tapi tegas, ia berhasil menyihir satu kelas. “Kali ini kalian harus membuat surat cinta untuk salah satu senior kalian…”
Belum selesai Kak Samudra bicara, kelas mulai gaduh, “Haaaa… surat cinta???”
Gubrak…
Suara meja dipukul dengan keras oleh Kak Satrio, salah satu senior yang bertampang galak dan bertubuh besar, disusul dengan teriakan-teriakan yang saling bersahutan, “Bisa diem gak sihhhh????!!!!”
“Kalian harus membuat surat cinta, dan kalian harus menyelipkan foto kalian bersama surat itu.” Kak Samudra melanjutkan.
Kali ini keterkejutan Dania dan teman-temannya hanya berani ditunjukkan dengan mulut yang menganga, beberapa ada yang menundukkan kepala, entah karena malu, takut, bingung, atau malah mulai berpikir, “Siapa yang akan gue kirimin ya?”
Malam harinya, Dania mulai sibuk, memikirkan siapa yang akan ia kirimi surat cinta. “Siapa ya?? Kak Samudra? Ah.. pasti banyak yang mengirimi dia, suratku pasti terlewat. Kak Satrio? Seram ah… aku takut.”
Dania larut di depan meja belajarnya. Dagunya bertopang pada salah satu tangganya, tangga satunya lagi memegang pensil yang ia tepuk-tepukkan di kepalanya. Dari tadi ia sibuk meneliti buku kepanitiaan, mencari nama-nama yang kira-kira menarik hatinya, sambil mencoba mengingat-ingat seperti apa orangnya.
“Kak Aryo? Gak ah.. sok cakep… meskipun emang cakep, sih.” Dania tersenyum geli sendiri.
“Kak Ichsan? Cakep, sih… tapi terlalu pendiem, rada pemalu kaya’nya. Gak ah, ntar dia malah bingung.” Mengingat salah satu seniornya yang pendiam, berkacamata dan lebih sering jadi pengamat di dalam kelas.
“A ha…!” Seolah ada lampu berpijar di atas kepalanya, Dania langsung duduk tegak, dan tersenyum-senyum sendiri. “Aku harus bikin surat yang unik, biar orang kenal aku, tapi gak keliatan kalo aku kecentilan.”
Langsung ia mengambil kertas, dan mulai menulis surat dengan lancar. Sesekail ia berhenti, berpikir sejenak sebelum menulis lagi. Setelah selesai, dibaca lagi isi suratnya, lalu ia tersenyum puas. Lalu, ia mulai mencari foto untuk disertakan bersama surat itu.
Keesokan harinya, di jam istirahat sore, senior-senior mulai masuk. Di tangan mereka, ada beberapa amplop yang sepertinya surat cinta dari para junior. Kali ini mereka masuk dengan diam, tidak ada bentakan-bentakan, membuat suasana malah lebih tegang.
Tiba-tiba, suara cempreng Kak Monika terdengar. “Mana yang namanya Dania Ayudya?” tanya Kak Monika dengan garang.
“Mampus gue!” bukannya mengangkat tangan, Dania malah menundukkan kepalanya.
“Mana yang namanya Dania Ayudya?” tanya Kak Monika lagi. “Ayo… gue mulai gak sabaran. Apa perlu gue cocokin fotonya dengan tampang loe satu-satu? Tapi, enak aja, masa’ gue yang musti susah!”
Dania masih diam. Beberapa temannya mulai menoleh ke arahnya, juga tidak sabaran, plus takut nanti mereka ikut kena getahnya kalau Dania bikin salah.
“Ayoooo… mana nih…? Jangan jadi penakut, deh! Bikin surat cinta berani, tapi masa’ dipanggil aja, gak berani!” suara Kak Monika makin garang.
Akhirnya, Dania memberanikan diri, ia berdiri, “Sssaaaya, Kak.”
“Sini kamu!” Kak Monika memanggilnya.
Teman-teman di belakangnya mulai kasak-kusuk, ada yang berbisik, “Jangan-jangan dia kirim surat ke pacarnya Kak Monika, makanya ngamuk tuh.”
“Heeehhh… yang lain diem!! Apa kalian namanya Dania juga?” kali ini suara Kak Satrio terdengar.
Otomatis semua diam. Pelan-pelan Dania jalan ke depan kelas, dengan kepala tertunduk. Berpuluh-puluh pasang mata mengikuti langkahnya. Ia masih tetap menunduk ketika sampai di depan kelas. Dania tidak lihat kalau Kak Monika sempat tersenyum kecil, bukan senyum sinis, tapi senyum geli.
“Kamu mau bacain surat cinta kamu, gak?” kata Kak Monika.
“Hah?” Dania tampak kaget.
“Iya, kamu harus baca surat cinta ini. Di sini. Di depan kelas. Surat kamu, saya pilih untuk dipamerkan sebagai salah satu surat yang unik.” Kak Monika menekankan pada kata ‘unik’.
“Hah?” Dania masih bengong-bengong.
Suara Kak Satrio terdengar lagi, “Duhhh… tulatit banget sih.!”
Sementara senior lain, termasuk Kak Ichsan dan Kak Samudra, diam memandang adegan itu. Kak Monika berkata lagi dengan tidak sabar, “Egggghhhh… apa perlu gue yang bacain?”
Sebelum Dania sempat berkata “Jangan”, Kak Monika sudah mulai membacanya, “Dear Kak Monika…”
Baru kalimat awal dibacakan oleh Kak Monika, seisi kelas mulai gaduh. Suara tawa terdengar membahana. Tak pelak lagi, para senior pun tersenyum.
Dania hanya tertunduk… pasrah…
“Kenapa kamu kirim surat cinta ke saya? Kamu ngerti ini surat cinta. Seharusnya dikirim ke cowok yang kamu suka dong…” Kak Monika bertanya dengan pandangan menyelidik, lalu melanjutkan, “Kamu baik-baik aja kan?”
Beberapa anak mengerti arti ‘baik-baik’ saja itu, mulai tertawa perlahan.
“Kemarin kita hanya dikasih tahu untuk bikin surat cinta. Gak ada penjelasan ke cewek atau cowok. Dan gak ada penjelasan, ini surat cinta untuk pacar, calon pacar atau gebetan,” Dania menjawab dengan polos.
Dan ia melanjutkan, “Jadi saya pikir, gak salah kan kalo saya kirim surat cinta ke Kak Monika, sebagai tanda cinta saya ke seorang kakak?”
06.02.01
[Cuma Cerita Pendek] Ketika Anton Tersenyum
Mata Anton tampak kosong. Di sebelah kanannya, ada sehelai kertas kosong dan sebuah pulpen. Berkali-kali ia mendesahkan napas. Ingin membuang beban yang memberati hatinya. Tapi, tetap tak kunjung ringan.
Suara kecil terdengar di sebelah kirinya, “Anton, tunggu apa lagi. Kamu tinggal pilih benda mana yang akan kamu gunakan untuk mengakhiri hidup kamu di dunia ini.”
Anton tetap terdiam. Matanya bergerak, menelusuri benda-benda berbahaya yang bertebaran di sekitarnya. Dilepaskan tali yang sedari tadi dipegangnya, kemudian ia meraih botol obat pembasmi serangga. Diangkatnya botol itu sejajar dengan matanya. Lama dipandanginya botol itu. Senyum tipis dan sinis sekilas terbentuk dari bibirnya.
Matanya bergerak, menoleh ke arah sebuah foto di samping tempat tidurnya. Diraihnya foto itu. Ia tersenyum lagi, kali ini senyum pasrah. “Andjani” bisiknya dalam hati.
Ingatannya terbang ke kejadian seminggu yang lalu. Ketika Andjani membawa sebuah berita. Harusnya itu menjadi berita bahagia, tapi ternyata tidak bagi Anton.
“Aku hamil, Anton,” Andjani mengabarkan berita itu. Binar bahagia tampak di matanya. Anton hanya mematung, menatap Andjani tanpa tahu harus bereaksi apa. Harusnya ia juga bahagia, harusnya ia memeluk Andjani, harusnya ia mencium Andjani. Tapi, ia hanya diam. Sampai akhirnya Andjani marah karena reaksi yang tidak seharusnya itu.
“Kenapa sepertinya kamu tidak bahagia, Ton?” Andjani cemberut. Ia merajuk. Reaksinya yang wajar dari seorang wanita yang diperlakukan seperti itu. Reaksi Anton yang tidak wajar.
Anton tergagap menjawab pertanyaan Andjani, “A..a..aku hanya kaget, Djani.” Kemudian ia tersenyum… senyum yang dipaksakan. “Selamat, Sayang.” Anton memeluk Andjani. Tapi, di hatinya, ada gundah…
Tapi, binar bahagia itu pun tidak bertahan lama di mata Andjani. Ia pun berbisik lirih dalam pelukan Anton, “Lalu, kita harus gimana, Ton? Kita harus bilang apa sama orang tua kita?”
Anton mengelus kepala Andjani. Ada rasa sayang yang besar di hatinya. Sebentar Anton terdiam, lalu hanya bisa menjawab, “Aku tidak tahu, Djani… Aku tidak tahu.”
“Apa yang harus kita lakukan dengan janin ini?” Andjani lalu menarik diri dari pelukan Anton dan menatap Anton tajam, sambil berkata, “Apa harus kita gugurkan?”
Anton menatap Andjani kaget dan setengah berteriak, “Jangan, Djani. Itu anak kita.”
“Tapi…’”
Tak sempat Andjani menyelesaikan kata-katanya, Anton meletakkan telunjuknya di bibir tipis Andjani. “Ssstt… biar aku yang memikirkan semua itu, Djani.” Anton meraih Andjani, kembali dalam pelukannya, “Biar aku yang mengurus semuanya.”
Dan malam ini… di dalam kamarnya… Anton sendirian. Hatinya tidak tenang, pikirannya kacau. Berperang dengan berbagai keinginan dan resiko yang bakal ditanggungnya.
“Jika aku memilih menikahi Andjani, Mama pasti akan sangat kecewa. Mama tidak suka dengan Andjani. Dan aku tahu Mama sudah berniat menjodohkanku dengan Mariska. Hehehe… seksi juga sih dia…”
Anton tersenyum sejenak… senyuman nakal…
“Jika aku memilihi menuruti keinginan Mama, aku takut Andjani bakal menuntut macam-macam. Huh.. uang dari mana juga aku harus membiayai anak itu nanti. Selama ini kan, aku masih minta sama Mama.”
Senyumnya hilang…
“Sebenarnya aku sayang dan mencintai Andjani. Apa yang pernah kulakukan bersamanya bukan hanya nafsu belaka, tapi karena cinta.”
Tatapan matanya menjadi sendu… ada rindu di hatinya.
Sementara itu, salah satu tangannya memain-mainkan pisau. Anton mengangkat pisau itu hingga sejajar dengan matanya. Tampak pantulan matanya di pisau itu. Mata yang letih, mata yang suram, mata yang bingung… Lama dipandangnya matanya sendiri. Tiba-tiba… ada matanya berbinar. Seperti ada kilatan yang berbeda dengan mata yang terpantul dari pisau itu sebelumnya. Jika pisau itu digeser ke bawah sedikit, akan terlihat pantulan bibir yang sedang tersenyum… menyeringai tepatnya…
Cepat-cepat diletakkannya pisau itu. Ia meraih botol obat pembasmi serangga dan melirik sekilas ke arah jam yang tergantung di dinding kamarnya. “Hampir jam 9. Waktu yang sempurna!”
Ia berdiri. Agak limbung. Sudah sejak kemarin ia hanya duduk saja di dalam kamarnya. Ketika ia berdiri, ia harus diam sejenak untuk menghilangkan kunang-kunang di matanya.
Lalu ia keluar kamar. Sunyi. Semua penghuni rumah ini – Mama, Kezia, adiknya, Mbok Nah – sudah masuk ke kamar masing-masing. Hanya terdengar suara televisi dari masing-masing kamar. Terdengar suara gemericik air, tanda Mang Jum sedang mencuci mobil. “Tuan Putri Kezia pasti baru pulang kantor,” Pikir Anton sambil tersenyum sinis.
Anton berjalan menuju kamar Mamanya. Sejak kemarin Mama mengetuk pintu kamar Anton. Anton anak kesayangan sang Mama, wajar kalau Mamanya begitu khawatir dengan perubahan sikap anak laki-laki satu-satunya itu.
Tok… tok… tok…
Anton mengetuk pintu kamar Mamanya.
“Siapa?” terdengar suara dari dalam.
“Anton, Ma.”
Terdengar suara langkah tergesa-gesa, dan kunci pintu dibuka tidak sabaran.
“Anton… masuk, Nak.” Mamanya menarik tangannya dan menatap Anton dengan prihatin. “Kenapa kamu, Sayang?” Anton masih terdiam, ia membiarkan dirinya dibimbing Mamanya duduk di tempat tidur.
Akhirnya, sebelum bicara, Anton menghela napas. “Ma, Anton mau bicara.”
“Bicaralah, Sayang? Ada apa? Mama khawatir melihat kamu dua hari ini.”
“Ma’afin Anton, Ma.” Anton memegang tangan Mamanya lalu menciumnya. Anton pun tersungkur di kaki Mamanya. Mama Anton membelai kepala anaknya dengan penuh kasih. Anton menengadah, tersenyum. Entah apa arti senyuman itu.
Anton lalu berdiri lagi, menuju sebuah lemari, tempat di mana obat-obat Mamanya berjajar rapi. Lalu ia bertanya, “Mama sudah minum obat?”. Mama Anton menjawab dengan bingung, “Belum, Sayang.” Lalu terdiam sebelum melanjutkan, “Ayo lah, Sayang, ada apa? Perasaan Mama jadi gak enak.”
Anton terlihat sibuk berkutat di depan lemari. Ia sedang meracik obat untuk sang Mama. Dituangnya air ke dalam gelas, lalu ia mengaduk-aduk air itu. Sambil membelakangi Mamanya, ia berkata, “Ma, Anton mau minta ijin menikahi Andjani.”
“Apa?”
Belum habis rasa terkejut Mamanya, Anton melanjutkan, “Andjani hamil. Anakku.”
Mama Anton tampak semakin terkejut. Ia tidak bisa menguasai dirinya. Ia hanya bisa megap-megap dan berkata terbata-bata, “A… a… pa… mak…mak..ssssuddd… kaaaa… mm…mmuu?”
Anton hanya tersenyum, seraya menyerahkan air minum ke Mamanya. Ia hanya berkata, “Mama, minum dulu biar tenang.” Ia membantu Mamanya minum. Anton tetap tersenyum… tenang sekali…
Tiba-tiba, Mama Anton bukannya lebih tenang, malah semakin megap-megap. Pandangannya mengabur, ia hanya bisa melihat Anton tersenyum samar, sebelum terkulai… tak bernapas lagi…
Anton tetap tersenyum, “Ma’afkan Anton, Ma. Anton memberi minum campuran obat dan racun. Mama selama ini baik sama Anton. Tapi, Anton cinta Andjani. Anton gak punya uang banyak. Mama udah cukup lama menikmati dunia ini, sekarang giliran Anton, Ma. Warisan Mama mungkin cukup untuk membiayai hidup kami. Sekarang Mama tenang aja, ya… Gak perlu mikirin Anton lagi… Gak perlu marah lagi sama Anton dan Andjani…”
Anton mengelus tangan Mamanya sekilas, sebelum keluar dan menutup pintu dengan tenang, lalu kembali ke kamarnya.
Anton masih tersenyum…
06.02.01
[Cuma Cerita Pendek] Pelangkah
“Kak Nadia mau pelangkah apa?”
Pertanyaan sederhana itu meluncur dari bibir Kania, adik Nadia. Biar sederhana, tapi cukup membuat hati Nadia bagai disambar geledek. Nadia melemparkan pandangan tidak bertanya-tanya kepada Kania. Kania langsung merasa tidak enak. Hal seperti ini pastinya sangat sensitif bagi Nadia. Didahului menikah, atau dilangkahi, oleh adik perempuan, seolah menjadi semacam aib tersendiri bagi perempuan seperti Nadia. Umur 28 tahun, pekerjaan cukup bagus, kekasih pun sebenarnya ada – hanya saja masih belum pasti.
Kedekatan Kania dengan Edo selama 6 bulan terakhir ini sebenarnya cukup membuat hati Nadia was-was. Edo mirip Raka, kekasih Nadia. Tipe pria yang serius dalam menjalin hubungan. Tipe pria yang begita pacaran tujuannya langsung melompat ke arah pernikahan. Tapi, Edo ada di sini. Sedangkan Raka, menunda pernikahan itu karena harus pergi ke London mengejar gelar doktor.
“Handphone boleh?” jawab Nadia asal-asalan.
“Gak mobil aja sekalian?” balas Kania, sewot.
“Boleh juga, kalo bisa.” Nadia makin asal.
“Mama gak suka deh, kalo ada yang minta-minta begitu.” Mama mereka berdua nimbrung, mendengar percakapan dua anak gadisnya itu.
“Ya kan, becanda aja, Ma.” Nadia meralat jawabannya tadi. Lalu, terdiam sebentar sebelum melanjutkan, “Ya terserah aja, lah. Aku gak ngerti, Ma.”
Beberapa hari yang lalu mama mengajaknya berbicara soal hal ini. Nadia hanya bisa bilang, “Aku gak pa-pa, Ma. Gak masalah koq.”
Entahlah… di luar ia berusaha tegar, tapi di dalam hatinya, ia agak sedih. Bukan sedih karena Kania akan melangkahinya, tapi sedih – atau tepatnya takut – dengan omongan orang di luar. “Aku tidak mau dikasihani,” selalu Nadia bertekad dalam hati. “Aku harus kuat. Gak masalah kan? Banyak teman-temanku yang juga belum menikah, meski umurnya sudah 30 tahunan.”
Di hari pertunangan Kania dan Edo, Nadia pura-pura tidak tahu apa yang akan diberikan Kania sebagai pelangkah. Beberapa hari yang lalu, tidak sengaja Nadia menemukan sebuah kotak cantik, dan membukanya untuk melihat apa isinya. Ia sempat tercekat. “Akhirnya… semua ini benar…”
Om Indra menyerahkan selembar kertas kecil. Dengan bingung Nadia menatap kertas itu. Om Indra hanya bilang, “Dihafal ya.” Nadia membuka lipatan kertas itu. Ia hanya bisa mendesah dalam hati, dan pelan-pelan mulai menghafal tulisan yang ada di kertas itu.
Tibalah saatnya. Rombongan keluarga Edo pun datang, membawa belasan keranjang seserahan. Diawali dengan perkenalan, akhirnya Kania keluar dari kamarnya. Terbalut kebaya warna merah muda, Kania tampak cantik. Sekuntum bunga mawar yang masih agak kuncup menghias sanggulnya.
Kania duduk di depan Nadia. Ia punya berucap dengan pelan, “Kak Nadia, Kania mohon doa restu. Semoga Kak Nadia bisa menyusul langkah kami berdua. Insya Allah.”
Nadia membalas ucapan adiknya, kata-kata yang sudah dihafalnya dari tadi. Dengan hati berdebar, dan dalam hati ia berkata, “Aku gak boleh nangis. Jangan sampai orang mensalahtafsirkan aku sedih karena dilangkahi.” Dengan suara pelan tapi tegas, Nadia berkata, “Kakak merestui langkah kalian berdua. Do’akan Kakak semoga, Insya Allah, Kakak bisa menyusul langkah kalian berdua.”
Kania menyerahkan sebuah kotak putih yang cantik, yang berisi bahan kebaya brokat warna merah dan kain sutera juga berwarna merah sebagai pelangkah.
Sisa acara itu dilewati Nadia dengan rasa tersiksa. “Ternyata gak semudah itu. Kenapa semua orang berpikir aku sedih. Kalo mereka tau aku sedih, ya sudah lah… gak perlu dibahas. Gak perlu tanya-tanya, kapan nyusul? Gak usah sok perhatian…!!” Nadia serasa mau menjerit menjawab pertanyaan para nenek dan saudara-saudara yang lain, yang terkesan usil baginya.
“Aku gak sedih…!!” Nadia menjerit marah dalam hatinya. “Kalau aku diam, itu karena aku malas menanggapi ucapan-ucapan kalian!”
Seseorang menepuk bahunya. Nadia tersentak, tersadar dari lamunannya yang penuh kemarahan. Ternyata Nenek Raya, nenek yang paling usil, yang suka mengajukan pertanyaan yang tidak penting. Dan benar saja, beliau bertanya, “Jadi kapan nih, nyusul? Nanti ketinggalan kereta lho!” Nadia hanya bisa tersenyum pasrah menanggapi pertanyaan sang Nenek, tapi dalam hati…
Deg… jantung Nadia rasanya mau jatuh ke tanah… “Ketinggalan kereta? Ke-ting-ga-lan-ke-re-ta-?” Nadia mengeja, mencerna pertanyaan Nenek Raya. Tak urung hatinya langsung sedih, teringat teman-teman kuliah, smu, smp yang sebagian sudah berkeluarga, bahkan ada yang sudah punya tiga orang anak. Email-email di milis jurusannya di universitas tidak lagi memberi kabar si A akan menikah, si B akan menikah – ah.. sudah semakin jarang email berita pernikahan – tapi yang sering, si A baru punya anak pertama, si B baru punya anak ke dua, atau si C baru punya anak ketiga. Sementara dirinya… masih begini-begini saja. Inilah yang kadang membuatnya malas berkumpul dengan teman-teman sekampusnya dulu.
Tiba-tiba, lagi-lagi pundak Nadia ditepuk, kali ini oleh Om Indra. Pandangan mata Om Indra yang menunjukkan rasa prihatin, pengertian. Nadia tersenyum. Sementara Om Indra berkata, “Udah. Cuekin aja. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri aja.” Om Indra memang om yang paling doyan becanda dan dekat dengan keponakan-keponakannya.
Nadia tersenyum miris, “Gak ada yang tahu kan apa yang sebenarnya aku rasakan? Gak ada yang tahu. Tapi, semua sok tahu.”
Dan hari ini… hari bahagia untuk Kania dan Edo. Di acara akad nikah, Nadia memakai baju kebaya brokat merah, bahan pemberian Kania sebagai pelangkah. Nadia ikut tersenyum lega dan haru, melihat adiknya sekarang sudah menjadi seorang istri. Tak pernah ada bayangan di benak Nadia kalau Kania akan menikah lebih dulu. Teringat periswtiwa lima tahun yang lalu, ketika acara lamaran Kak Tiara, kakak perempuan Nadia dan Kania. Salah seorang tante mereka bertanya, “Abis ini siapa nih?” Spontan Nadia menunjuk ke arah Kania yang berdiri di sebelahnya. Dan ternyata… Tuhan melihat ‘candaan’ Nadia dan ‘mengabulkan’ candaan itu.
Sebait do’a dibisikkan dalam hati, “Ya Tuhan, ijinkan aku merasakan kebahagiaan yang sama dengan Kania.”
06.01.30