ceritaceritaku

my stories... my dreams... my imaginations....

Daisypath Ticker

Wednesday, May 24, 2006

[Book Review] Last Chance Saloon (Kesempatan Terakhir)

Last Chance Saloon (Kesempatan Terakhir)
Marian Keyes
GPU, April 2006
672 Hal.

Buku ini bercerita tentang persahabatan. Dan menurut aku, buku ini bagus, karena gak hanya sekedar haha-hihi and talking about sex, tapi juga tentang sebuah sahabat yang selalu ada dalam saat senang dan sedih.

Para tokoh ini buku ini ada Tara, Katherine, Liv dan Fintan. Tara, Katherine dan Fintan berasal dari kota yang sama di Irlandia. Kemudian Liv masuk ke dalam kehidupan mereka ketika jadi teman seapartemen Katherine dan Tara di London.

Cerita dimulai dengan pesta ulang tahun Tara yang ke 31, dan ditutup dengan acara yang sama setahun kemudian. Masih tetap masalah percintaan yang seolah jadi masalah yang benar-benar berat dalam hidup mereka. Di antara mereka berempat, hanya Fintan yang bisa dibilang punya hubungan yang stabil. Fintan yang gay punya pacar bernama Sandro. Tara, punya pacar, Thomas. Tapi, herannya meskipun Tara begitu mencintai Thomas, tidak ada satupun teman-teman Tara yang menyukai Thomas. Menurut mereka, Thomas terlalu mengendalikan Tara. Sementara, Tara sendiri, masih lebih baik punya pacar, dari pada tidak sama sekali. “Siapa yang mau dengan cewek berumur tiga puluhan?” begitu pikir Tara.

Sementara Katherine, dijuluki si Ratu Es. Karena sikapnya yang dingin sama semua cowok. Pengalaman disakiti pria beberapa kali yang membuat Katherine jadi dingin. Ketika ada cowok keren, anak baru di kantornya, Joe Roth, yang memperhatikannya, Katherine mencoba tetap bersikap dingin, meskipun dalam hatinya dag-dig-dug.

Lalu, Liv… Liv punya hubungan gelap dengan pria yang sudah punya istri. Meskipun berurai air mata, Liv tetap keukeuh tidak mau meninggalkan kekasihnya itu.

Tiba-tiba, sebuah cobaan menghantam Fintan. Benjolan sebesar buah kiwi di lehernya ternyata merupakan sebuah penyakit. Semua menduga Fintan terkena AIDS, tapi ternyata Fintan terkena kanker. Dengan lagak seorang yang sedang sekarat, Fintan mengajukan permintaan terakhir untuk para sahabatnya. Fintan minta Tara untuk meninggalkan Thomas, dan minta ke Katherine untuk berani membuka dirinya untuk Joe Roth.

Meskipun kesal, kaget, gengsi, dan marah, permintaan itu membuka mata mereka, dan memberi kesadaran baru pada diri Tara dan Katherine, kalau mereka harus berani melawan hal-hal yang tidak beres di sekitar mereka. Tapi, toh, tetap mereka bingung, apakah mereka berdua harus memenuhi permintaan terakhir Fintan, atau tetap pada pendirian mereka?

[CumaCeritaPendek] OPERASI

Aku tahu Dia pasti sedang bersama perempuan itu saat ini. Perempuan yang Dia gambarkan sebagai perempuan yang sempurna.

Sempurna???!!! Kata-kata itu seolah menghempaskan harga diriku.

Sempurna???

Iya… Sempurna, kata Dia.

Karena di diri perempuan itu, Dia bisa mendapatkan kenikmatan baru, kenyamanan baru. Dada hangat tempat bersandar yang membuat Dia seperti anak kecil lagi.

Dada???

Iya… Dada yang sempurna!, Dia bilang.

Lagi-lagi, harga diriku jatuh… terjun bebas…

Memang, dadaku rata sebelah. Kanker payudara telah merengutnya. Dadaku bukan lagi tempat yang nyaman baginya.

Tapi… aku puas sekarang. Kupandangi pisau yang masih berlumuran darah. Kupandangi tubuh Nadia dan perempuan itu. Aku puas…!!! Telah kuhujam dada perempuan yang sempurna itu. Telah kuhujam mereka berdua, ketika Dia tengah tertidur nyaman di dada perempuan itu.

Kubersihkan pisau berlumuran darah itu dengan selimut yang mereka pakai.

Tak akan ada yang tahu siapa pelakunya.

Besok pagi, aku sudah janji dengan dokter bedah. Besok aku akan melakukan operasi sekali lagi….

Operasi kelamin!

Aku memang bukan perempuan sempurna. Kupandang senyum terakhirku sebagai perempuan dalam kilatan pisau.

[CumaCeritaPendek] HAMIL

“Kamu udah gila, ya?” kataku setengah menjerit.

“Aku gak gila!” Momo, kekasihku juga tidak kalah sengit. “Apa aku salah jika ingin punya bayi? Punya anak dari rahim kamu, Sayang.” Momo terdiam sejenak, lalu berkata lagi, “Aku ingin seperti pasangan lain.”

Aku frustasi mendengar kata-katanya. Bukan aku tidak sayang, tidak mencintainya, tapi ini benar-benar ide gila.

“Kamu kan tahu itu gak mungkin, Mo. Aku gak akan bisa punya anak.” Kucoba berkata dengan sabar, menahan kesal di hati.

“Kenapa gak mungkin, Sayang? Ilmu kedokteran makin canggih. Anything is possible, Honey,” sahut Momo, tangannya berusaha menjangkau kepalaku.

“Kita kan belum menikah, Mo,” aku mencari-cari alasan.

Momo tersenyum tenang, “So what? Apa itu jadi alasan?”

“Ya jelas itu jadi alasan, Mo!” Aku jadi senewen, suaraku makin meninggi, “Apa kata orang kalau lihat laki-laki hamil!!!”

Aerobic

Demi menjaga kesehatan (hmmm.. bahasa halusnya buat ‘ngurusin’ badan…), hari ini dimulailah program aerobic. Alat bantu pertama alias vcd aerobic udah siap. Jam 7 di hari minggu, yang biasanya waktu tidur gue masih sejam lagi, dengan kadar malas masih tinggi, gue terpaksa bangun. Hati gue seolah berteriak, “Hayooo… mau ngecilin perut gak? Mau kurus gak??” Ok… ok… gue pun bangun…

Akhirnya… wah… setelah berapa tahun kali ya, gue gak olah raga ‘seberat’ ini, keringat pun bercucuran.. emang dasar udah menjelang tua… masih gerakan low impact aja, udah bikin gue dengan sukses ngos-ngos-an..

Hasilnya, sebelum tidur semalem… badan gue pegal-pegal. Susah banget mau cari posisi tidur yang enak. Bantal udah dibolak-balik, tapi koq gak bikin badan gue jadi nyaman. Pagi-pagi pas bangun, tangan rada sakit-sakit… Ah… gini deh, akibat gak pernah olah raga…

06.05.22

Saturday, May 20, 2006

[Movie Review] The Da Vinci Code

Seperti yang udah diduga, antrian di depan loket lumayan panjang dan sebagian besar mau nonton The Da Vinci Code. Maunya sih nonton yang jam 2, tapi ternyata kursi tinggal dua baris di depan. Huh, pengalaman nonton UnguViolet, gak lagi deh nonton di baris-baris depan. Akhirnya, kita nonton yang jam 4.

Ceritanya sebagian besar sama seperti di buku. Mungkin akan lebih enak lagi kalo udah pernah baca The Da Vinci Code yang edisi illustrated. Adegan dibuka dengan Sauniere yang dikejar sama Silas dan akhirnya ditembak, diselang-selingi sama Robert Langdon yang lagi ngasih presentasi.

Kalo di buku, diceritain Robert Langdon dijemput polisi di tengah malam pas dia lagi tidur dan abis presentasi, di film diceritain Robert Langdon dijemput waktu dia lagi ngasih tanda tangan di buku barunya.

Bagian lain yang beda, waktu Sophie dan Robert di London mau nyari makan Sir Isaac Newoton. Kalo di buku, Sophie dan Robert nyari data di komputer perpustakaan, di film, dalam perjalanan nyari perpustakaan, Sophie ngedeketin seorang mahasiswa di bis, dan akhirnya minjem handphone-nya untuk nyari data di internet.

Visual yang keren waktu Sophie dan Robert dateng ke gereja tempat makam Isaac Newton, ada siluet-siluet orang-orang waktu prosesi pemakaman Isaac Newton.

Bagian yang bikin ngilu, waktu liat Silas, yang albino, nyakitin dirinya sendiri dengan make silica belt dan mencambuk badannya sendiri. Tampangnya Silas bener-bener dingin meskipun dia harus nahan sakit.

Filmnya lumayan keren, Audrey Tautou yang jadi Sophie Nevue emang cantik, dan beda banget dengan gadis lugu di Amelie, tapi, koq menurut gue rada kurang pas ngeliat Tom Hanks jadi Robert Langdon…

Ada beberapa dialog yang gak diterjemahin, katanya sih, untuk menghindari kontroversi…

Kalo komentar iseng di akhir cerita, “Ooo.. jadi inti film sebenarnya itu nyari makam Maria Magdalena….” Yang ternyata tempatnya yaa… di situ-situ juga… udah jauh-jauh pake lari-lari ke London… Semua berawal dan berakhir di tempat yang sama.

Thursday, May 18, 2006

Cerpen-ku Dimuat!!!


Berawal dari sebuah email di bulan Maret:

-----Original Message-----
From: adeline tang
Sent: Friday, March 17, 2006 9:33 PM
To: Ferina Permatasari
Subject: Re: Kiriman Cerpen

Selamat, cerpen anda telah dimuat di majalah SHOP&SHOP edisi april
Reward akan ditransfer awal april 2006 dan majalah akan langsung dikirim ke alamat penulis

Redaksi

Wahh… begitu baca email itu, gue langsung tersenyum lebar… gimana nggak.. ini cerpen pertama gue yang dimuat di majalah, meskipun to be honest, gue gak pernah dengan tentang majalah ini. Pengennya sih, begitu dapet email itu, langsung posting ceritanya di blog, tapi.. gak ah.. pamali… soalnya majalahnya aja belom terbit. Jadilah gue menunggu dengan sabar… menanti… dan menanti… Gue gak tau cerpen mana yang dimuat, karena waktu itu gue kirim dua cerpen.

Tunggu.. punya tunggu… setiap hari, tiap ada yang nganter surat ke ruangan gue, gue liat ada gak majalah buat gue… tapi… lho… lho.. sampai bulan april berakhir.. sang majalah gak dateng-dateng..

Barulah di awal bulan Mei, ada kiriman majalah buat gue. Wah.. dengan gak sabar, langsung gue buka bungkusnya. Tapi… pas gue buka halaman ‘Cerpen’… lho… koq gak ada?? Ternyata yang dikirim itu majalah edisi bulan Mei. Padahal cerpen gue ada di edisi April. Langsung gue kirim email lagi, gue bilang, gue belom terima yang edisi April.

Kira-kira seminggu kemudian, gue terima majalah Shop & Shop edisi April (hmmm… pantesan aja gak beredar di Jakarta, kaya’nya majalah ini untuk remaja-remaja di Surabaya).

Langsung, dengan gak sabar, gue buka bungkusannya… cepet-cepet cari halaman cerpen… halaman 50… wah… ada cerpen gue, yang judulnya ‘Masterpiece’…!!!

Hehehe… gue asli seneng banget (terserah deh… kalo beda tipis sama norak… mungkin)… gue baca cerpennya lagi… tapi.. editingnya rada kacau… harusnya ada bagian-bagian yang dipisah pakai garis putus-putus untuk menandakan beda tempat atau beda hari, beda setting, tapi di majalah itu ‘dibablas’ aja… emang sih, mungkin karena keterbatasan tempat… tapi, bakal membingungkan yang baca… karena, gue yang bikin aja jadi bingung…

Dan, gue pas gue baca-baca, gue baru sadar, kalo gue pake nama yang sama untuk dua tokoh yang berbeda…

Gue jadi semangat buat bikin cerpen lagi, nih…

Wedding Plan


Ribetnya nyusun acara untuk pernikahan. Mungkin bukan acaranya, tapi lebih ke persiapannya. Mulai dari undangan… dari sini aja udah berpontensi terjadi ‘selisih pendapat’ a k a ‘keributan’. Nentuin model, warna, motif, kata-kata dalam undangan… Selisih sedikit, bisa salah satu jadi bt or ngambek.

Belum lagi, milih cincin… Cowok gue maunya cincin dengan warna emas, sementara gue lebih prefer silver. Akhirnya diambil kata sepakat, ok, gue setuju warna emas, cuma gue gak mau emas yang ‘mengkilat’, gue maunya emas yang doff (bener gak sih nulisnya?). Sedikit bermotif, alias gak polos-polos amat. Dengan ‘mata’ yang harus ‘ditanam’. Karena kejadian, beberapa kali punya cincin dengan mata yang timbul, ada aja masalah, yang kepentok terus gompel, atau bahkan matanya lepas.

Masalah lain lagi, nentuin ‘tema’ atau nuansa acara nanti. Entah ya.. boleh dong, gue punya bayangan tentang sebuah acara pernikahan yang akan gue lalui.

Tapi, lagi-lagi… mentok di beda pendapat.

Bener kata orang… menjelang acara pernikahan, justru pasangan yang tadinya adem-ayem bisa jadi sering ‘perang’ gara-gara perbedaan. Pasangan jadi lebih sensi…

Belom lagi, kebingungan.. mana yang harus didahuluin… sementara, orang-orang di sekitar lebih ngeributin warna seragam.

Gue jadi kaya’ Amy Stewart di buku ‘Diary of a Mad Bride’ yang sibuk bikin listing apa aja yang harus dikerjain.

Kata orang.. menjelang hari besar seperti ini, harus banyak-banyak sabar…

Thursday, May 11, 2006

[Book Review] Boulevard de Clichy (Agonia Cinta Monyet)


Boulevard de Clichy (Agonia Cinta Monyet)
Remy Sylado
GPU - Cet. I, Maret 2006
672 Hal.

Novel ini bercerita tentang kehidupan seorang perempuan yang harus melewati pahitnya hidup yang sepahit-pahitnya dan sesakit-sakitnya sebelum akhirnya dia mencapai kebahagiaan. Novel ini mungkin sebenarnya ‘hanya’ cerita cinta biasa, tapi dengan bumbu dan intrik-intrik yang rumit.

Novel ini berkisah tentang seorang perempuan bernama Anugrahati, yang disapa Nunuk. Nunuk terlahir sebagai anak seorang supir metromini, Suhardi. Terlahir dengan bibir sumbing membuatnya sering minder. Hingga akhirnya sang ayah berjanji kalau dapat uang banyak, akan membiayai operasi untuk Nunuk. Dan memang akhirnya, Hardi mendapat uang dari hasil merampok rumah seorang wanita di Kelapa Gading.

Nunuk pun jadi primadona setelah bibirnya tidak lagi sumbing. Dia memikat laki-laki di sekolahnya, salah satunya adalah Budiman. Budiman pada dasarnya adalah pemuda pemalu, anak orang kaya, ketua DPRD, Waluyojati.

Singkat kata, akhirnya Nunuk hamil di luar nikah. Budiman ingin bertanggung jawab. Tapi, karena campur tangan orang tua Budiman yang sombong, Nunuk pun harus menahan sakit hati.

Nunuk punya cita-cita menjadi artis. Kebetulan ibunya, Ellen, yang masih keturunan Belanda, punya kakak di Belanda. Nunuk pun berangkat ke negeri Belanda bersama anaknya, Renata. Nunuk sekolah seni peran dan ia berhasil menarik seorang pencari bakat, Albeni yang mengajaknya ke Paris.

Tapi, apa daya, di Paris, ternyata Nunuk hanya menjadi penyanyi dan penari telanjang di sebuah klub di Boulevard de Clichy dengan nama Météoré de Java.
Seperti novel-novel sebelumnya, Remy Sylado memasukkan unsur-unsur politik di dalam ceritanya. Terkadang malah seperti dipanjang-panjangkan. Misalnya, cerita tentang ‘kerja kotor’ Waluyojati yang dibantuk pengusaha Bing Wijaya. Lalu, ada tokoh Suko Jiwandono yang menjadi kunci terungkapnya berbagai kasus kejahatan. Semua tokoh benar-benar hitam-putih. Yang jahat pasti berakhir tragis. Sementara yang baik harus menempuh jalan berliku untuk mencapai kebahagiaan.

[Book Review] Embroideries (Bordir)


Embroideries (Bordir)
Marjane Satrapi
Tanti Lesmana (Pentj.)
GPU - Cet. I, Maret 2006
136 Hal.

Dalam sebuah acara selepas makan siang, terungkaplah berbagai kisah-kisah yang lucu dan menarik. Di Iran, ketika selesai makan siang, para pria tidur sementara para wanita membereskan meja dan setelah itu minum teh bersama. Dalam acara minum teh itulah, para wanita berkumpul dan saling bercerita tentang kehidupan pribadi mereka tanpa malu-malu.

Pembicaraan bergulir, apa lagi kalau bukan seputar masalah cinta, seks dan hal-hal yang berhubungan dengan pria. Semua tersaji santai.

Layaknya ibu-ibu yang suka ‘ngerumpi’, pembicaraan bukan hanya tentang diri mereka pribadi, tapi juga tentang teman mereka yang sudah meninggal. Kisah-kisah cinta yang tragis maupun berakhir bahagia terungkap. Mulai dari perbincangan tentang malam pertama, tentang keperawanan, tentang operasi plastik, kawin paksa atau menjadi simpanan.

Dari kisah-kisah itu, terungkap bagaimana beberapa dari mereka berusaha mendobrak tradisi Iran yang mengharuskan wanita dijodohkan dan dinikahkan dalam usia muda dengan pria yang tidak mereka sukai, bahkan dengan pria yang usianya jauh lebih tua daripada mereka.

Meskipun mungkin, gambar dalam novel grafis ini tidak semenarik gambar-gambar dalam komik-komik lain, tapi ceritanya bisa membuat pembaca tersenyum-senyum sendiri. Apalagi kalau tahu apa sih arti ‘Bordir’ di dalam cerita ini.

Marjane Satrapi adalah penulis wanita kelahiran Iran. Karya lain Marjane yang cukup fenomenal adalah Persepolis.

Thursday, May 04, 2006

[Book Review] Diary of A Mad Mom-To-Be

Diary of A Mad Mom-To-Be (Catatan Harian Sang Calon Ibu)
Laura Wolf
Dharmawati (Penterjemah)
GPU, Cet. I - April 2006
392 Hal.

Masih ingat Amy Thomas di Diary of A Mad Bride (Catatan Harian Calon Pengantin)? Amy Thomas yang kelimpungan mempersiapkan pernikahannya dengan sederet daftar yang harus dilakukan? Kali ini, Amy Thomas, sudah jadi Mrs. Stewart, tengah mempersiapkan kelahiran anak pertamanya.

Di awal-awal pernikahannya, pasangan Amy dan Stephen memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Kata Amy, anak-anak itu berisik, rewel dan tidak tahu aturan. Tapi, jam biologis yang terus berdetak, membuat Amy berpikir. Usianya sudah kepala 3, bisa-bisa jika suatu saat dia memutuskan untuk punya anak, anaknya mungkin tidak akan mengenal orang tuanya apalagi kakek-neneknya.

Maka mulailah program baru Amy yaitu hamil. Dan ketika akhirnya Amy pun hamil, kembali Amy membuat daftar yang dibutuhkan untuk menyambut sang bayi. Dibantu buku Baby How, Baby Now, Amy mencoba menghadapi masalah-masalah dalam kehamilan dengan cool.

Kehebohan pun timbul, misalnya mengalami morning sickness, indera penciuman yang tiba-tiba jadi super sensitif, mencari tahu apa sih artinya layette, mencari nama untuk calon bayi, belum lagi menghadapi dua sahabatnya yang aneh – Mandy, yang ‘menentang’ untuk punya anak, dan Anita, yang justru pergi ke bank sperma untuk bisa hamil dan jadi orang tua tunggal.

Amy menuturkan hari-harinya dengan kocak di dalam buku hariannya, sampai bagaimana perasaannya yang haru bahagia ketika menggendong bayi mungilnya. Di detik-detik terakhir pun, Amy masih keras kepala, agar bayinya tidak lahir di saat April Mop.

[Book Review] Jangan Berkedip!



Jangan Berkedip: Kumpulan Cerita Sangat Pendek yang Mengejutkan
Primadona Angela Mertoyono & Isman Hidayat Suryaman
GPU, April 2006
200 Hal.

Buku ini bisa dibilang unik. Pertama, merupakan hasil karya kolaborasi antara pasangan suami-istri, Primadona Angela Mertoyono (Love at First Fall, Belanglicious, Quarter Life Fear) & Isman Hidayat Suryaman (Bertanya atau Mati!). Kedua, cerita-cerita di buku ini, bukan hanya sekedar cerita pendek, tapi cerita yang SANGAT pendek. Maksudnya, seperti yang ditulis di cover belakang buku ini, Flash Fiction adalah cerita semenit atau cerita-sepanjang-rokok.

Berbagai cerita pendek menarik dimuat dalam buku ini, dalam beragam jumlah kata, bahkan ada yang hanya berisi satu kata saja! Dan yang uniknya lagi, saking pendeknya, saat pembaca menerka-nerka ending dari cerita ini, tau-tau, lho.. koq udah selesai? Dan terkadang ending cerita sama sekali tak terduga, mengejutkan.

Duo suami-istri ini menghasilkan cerita pendek dengan gaya yang berbeda. Kalau Donna, cenderung romantis tapi juga lucu, sedangkan Isman lebih banyak humornya. Gak hanya cerita yang mengundang senyum, cerita yang sedih juga ada, yang cenderung ‘psikopat’ juga ada.

Buat yang ingin nulis tapi gak bisa mengkhayal panjang-panjang, kenapa gak coba nulis Flash Fiction? Ternyata menulis sebuah cerita, gak perlu berpanjang-panjang. Kreativitas dan ide bisa ‘dipadatkan’ dalam sebuah cerita pendek yang ringan.

[Book Review] Dim Sum Terakhir

Dim Sum Terakhir
Clara Ng
GPU, April 2006
368 Hal.

Setelah mengajak pembacanya berkunjung ke Negeri Dewa-Dewi dalam novel Utukki: Sayap Para Dewa, Clara Ng mengajak kita menelusuri daerah pecinan di kawasan Kota bersama empat perempuan kembar, Siska Yuanita – seorang eksekutif muda yang bermukim di Singapura yang selalu ceplas-ceplos dan to the point kalau bicara, Indah Pratidina – wartawan, sekaligus penulis novel yang sering gagap kalau sedang panik, Rosi Liliani – si tomboi yang punya usaha perkebunan bunga di Puncak, dan yang paling muda, Novera Kresnawati – guru taman kanak-kanak di Yogya yang paling keras kepala tapi juga paling lembut.

Meski mereka berempat adalah kembar identik, ternyata sifat mereka jauh bertolak belakang. Tidak seperti kembar lain yang terkadang rukun, kompak, bisa merasakan satu sama lain seperti punya telepati, mereka berempat justru lebih sering bertengkar dan berbeda pendapat. Meskipun ketika masih kecil, almarhumah ibu mereka, Anas, suka mendandani mereka dengan pakaian yang sama, lambat-laun mereka terbentuk dengan pribadi yang berbeda-beda. Karena perbedaan itu, mereka sering tidak percaya kalau mereka sebenarnya adalah saudara kembar. Dalam novel ini, gambaran pertengkaran mereka, saling cela, saling bantah, menjadi bagian yang membuat novel ini jadi ceria.

Tapi, ketika ayah mereka, Nung Astana, terserang stroke, mereka pun harus mencoba mengalahkan ego mereka, mengesampingkan kehidupan pribadi mereka untuk sementara dan mendampingi ayah mereka dalam melewati detik-detik terakhir hidupnya. Mereka harus berkumpul kembali di rumah tempat mereka melewati masa kecil mereka.

Satu permintaan terakhir dari ayah mereka membuat keempat saudara kembar ini pusing tujuh keliling. Ayah mereka baru bisa meninggal dengan tenang kalau mereka berempat sudah menikah! Karuan mereka bingung, karena mereka berempat punya masalah yang rumit dalam kehidupan percintaan mereka. Kehidupan percintaan yang menjadi rahasia di hati mereka masing-masing.

Satu demi satu rahasia mulai terkuak. Masalah demi masalah pun timbul. Yang akhirnya tidak hanya membuat mereka menyadari betapa mereka tidak mengenal diri mereka sendiri, apalagi saudara kembar mereka. Pelajaran hidup pelan-pelan mempererat hati mereka. Tali imajiner di antara mereka kembali terikat erat.

Sambil mengikuti usaha mereka dalam memenuhi keinginan ayah mereka, kita akan diajak berkilas balik menyelami kehidupan masa lalu mereka ketika masih kecil, masa remaja, semasa ibu mereka masih hidup, masa-masa manis, masa bahagia, bahkan masa-masa ketika mereka harus mengecap pahitnya kehidupan. Tradisi Cina yang kental mewarnai hidup mereka. Seperti misalnya tradisi setiap tanggal 1 (ce it) dan tanggal 15 (cap go), mereka tidak boleh makan daging, hanya boleh makan sayuran; makan dim sum di pagi hari sebelum perayaan imlek; pergi ke klenteng bersama-sama. Riuh rendah kesibukan di Pasar Petak Sembilan, tenangnya gereja Santa Maria de Fatima di Pancoran turut mewarnai novel ini.

Berempat, mereka berusaha tetap mempertahankan tradisi Cina yang mungkin dianggap kuno dan tidak relevan lagi oleh sebagian orang.

Meskipun mengambil latar belakang budaya Cina, tapi tidak menjadikan novel ini penuh dengan isu diskriminasi antara keturunan pribumi atau non pribumi. ‘Sentilan’ tetap ada, tapi bukan sebuah kesinisan.