[Book Review] Dim Sum Terakhir
Dim Sum Terakhir
Clara Ng
GPU, April 2006
368 Hal.
Setelah mengajak pembacanya berkunjung ke Negeri Dewa-Dewi dalam novel Utukki: Sayap Para Dewa, Clara Ng mengajak kita menelusuri daerah pecinan di kawasan Kota bersama empat perempuan kembar, Siska Yuanita – seorang eksekutif muda yang bermukim di Singapura yang selalu ceplas-ceplos dan to the point kalau bicara, Indah Pratidina – wartawan, sekaligus penulis novel yang sering gagap kalau sedang panik, Rosi Liliani – si tomboi yang punya usaha perkebunan bunga di Puncak, dan yang paling muda, Novera Kresnawati – guru taman kanak-kanak di Yogya yang paling keras kepala tapi juga paling lembut.
Meski mereka berempat adalah kembar identik, ternyata sifat mereka jauh bertolak belakang. Tidak seperti kembar lain yang terkadang rukun, kompak, bisa merasakan satu sama lain seperti punya telepati, mereka berempat justru lebih sering bertengkar dan berbeda pendapat. Meskipun ketika masih kecil, almarhumah ibu mereka, Anas, suka mendandani mereka dengan pakaian yang sama, lambat-laun mereka terbentuk dengan pribadi yang berbeda-beda. Karena perbedaan itu, mereka sering tidak percaya kalau mereka sebenarnya adalah saudara kembar. Dalam novel ini, gambaran pertengkaran mereka, saling cela, saling bantah, menjadi bagian yang membuat novel ini jadi ceria.
Tapi, ketika ayah mereka, Nung Astana, terserang stroke, mereka pun harus mencoba mengalahkan ego mereka, mengesampingkan kehidupan pribadi mereka untuk sementara dan mendampingi ayah mereka dalam melewati detik-detik terakhir hidupnya. Mereka harus berkumpul kembali di rumah tempat mereka melewati masa kecil mereka.
Satu permintaan terakhir dari ayah mereka membuat keempat saudara kembar ini pusing tujuh keliling. Ayah mereka baru bisa meninggal dengan tenang kalau mereka berempat sudah menikah! Karuan mereka bingung, karena mereka berempat punya masalah yang rumit dalam kehidupan percintaan mereka. Kehidupan percintaan yang menjadi rahasia di hati mereka masing-masing.
Satu demi satu rahasia mulai terkuak. Masalah demi masalah pun timbul. Yang akhirnya tidak hanya membuat mereka menyadari betapa mereka tidak mengenal diri mereka sendiri, apalagi saudara kembar mereka. Pelajaran hidup pelan-pelan mempererat hati mereka. Tali imajiner di antara mereka kembali terikat erat.
Sambil mengikuti usaha mereka dalam memenuhi keinginan ayah mereka, kita akan diajak berkilas balik menyelami kehidupan masa lalu mereka ketika masih kecil, masa remaja, semasa ibu mereka masih hidup, masa-masa manis, masa bahagia, bahkan masa-masa ketika mereka harus mengecap pahitnya kehidupan. Tradisi Cina yang kental mewarnai hidup mereka. Seperti misalnya tradisi setiap tanggal 1 (ce it) dan tanggal 15 (cap go), mereka tidak boleh makan daging, hanya boleh makan sayuran; makan dim sum di pagi hari sebelum perayaan imlek; pergi ke klenteng bersama-sama. Riuh rendah kesibukan di Pasar Petak Sembilan, tenangnya gereja Santa Maria de Fatima di Pancoran turut mewarnai novel ini.
Berempat, mereka berusaha tetap mempertahankan tradisi Cina yang mungkin dianggap kuno dan tidak relevan lagi oleh sebagian orang.
Meskipun mengambil latar belakang budaya Cina, tapi tidak menjadikan novel ini penuh dengan isu diskriminasi antara keturunan pribumi atau non pribumi. ‘Sentilan’ tetap ada, tapi bukan sebuah kesinisan.
Clara Ng
GPU, April 2006
368 Hal.
Setelah mengajak pembacanya berkunjung ke Negeri Dewa-Dewi dalam novel Utukki: Sayap Para Dewa, Clara Ng mengajak kita menelusuri daerah pecinan di kawasan Kota bersama empat perempuan kembar, Siska Yuanita – seorang eksekutif muda yang bermukim di Singapura yang selalu ceplas-ceplos dan to the point kalau bicara, Indah Pratidina – wartawan, sekaligus penulis novel yang sering gagap kalau sedang panik, Rosi Liliani – si tomboi yang punya usaha perkebunan bunga di Puncak, dan yang paling muda, Novera Kresnawati – guru taman kanak-kanak di Yogya yang paling keras kepala tapi juga paling lembut.
Meski mereka berempat adalah kembar identik, ternyata sifat mereka jauh bertolak belakang. Tidak seperti kembar lain yang terkadang rukun, kompak, bisa merasakan satu sama lain seperti punya telepati, mereka berempat justru lebih sering bertengkar dan berbeda pendapat. Meskipun ketika masih kecil, almarhumah ibu mereka, Anas, suka mendandani mereka dengan pakaian yang sama, lambat-laun mereka terbentuk dengan pribadi yang berbeda-beda. Karena perbedaan itu, mereka sering tidak percaya kalau mereka sebenarnya adalah saudara kembar. Dalam novel ini, gambaran pertengkaran mereka, saling cela, saling bantah, menjadi bagian yang membuat novel ini jadi ceria.
Tapi, ketika ayah mereka, Nung Astana, terserang stroke, mereka pun harus mencoba mengalahkan ego mereka, mengesampingkan kehidupan pribadi mereka untuk sementara dan mendampingi ayah mereka dalam melewati detik-detik terakhir hidupnya. Mereka harus berkumpul kembali di rumah tempat mereka melewati masa kecil mereka.
Satu permintaan terakhir dari ayah mereka membuat keempat saudara kembar ini pusing tujuh keliling. Ayah mereka baru bisa meninggal dengan tenang kalau mereka berempat sudah menikah! Karuan mereka bingung, karena mereka berempat punya masalah yang rumit dalam kehidupan percintaan mereka. Kehidupan percintaan yang menjadi rahasia di hati mereka masing-masing.
Satu demi satu rahasia mulai terkuak. Masalah demi masalah pun timbul. Yang akhirnya tidak hanya membuat mereka menyadari betapa mereka tidak mengenal diri mereka sendiri, apalagi saudara kembar mereka. Pelajaran hidup pelan-pelan mempererat hati mereka. Tali imajiner di antara mereka kembali terikat erat.
Sambil mengikuti usaha mereka dalam memenuhi keinginan ayah mereka, kita akan diajak berkilas balik menyelami kehidupan masa lalu mereka ketika masih kecil, masa remaja, semasa ibu mereka masih hidup, masa-masa manis, masa bahagia, bahkan masa-masa ketika mereka harus mengecap pahitnya kehidupan. Tradisi Cina yang kental mewarnai hidup mereka. Seperti misalnya tradisi setiap tanggal 1 (ce it) dan tanggal 15 (cap go), mereka tidak boleh makan daging, hanya boleh makan sayuran; makan dim sum di pagi hari sebelum perayaan imlek; pergi ke klenteng bersama-sama. Riuh rendah kesibukan di Pasar Petak Sembilan, tenangnya gereja Santa Maria de Fatima di Pancoran turut mewarnai novel ini.
Berempat, mereka berusaha tetap mempertahankan tradisi Cina yang mungkin dianggap kuno dan tidak relevan lagi oleh sebagian orang.
Meskipun mengambil latar belakang budaya Cina, tapi tidak menjadikan novel ini penuh dengan isu diskriminasi antara keturunan pribumi atau non pribumi. ‘Sentilan’ tetap ada, tapi bukan sebuah kesinisan.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home