ceritaceritaku

my stories... my dreams... my imaginations....

Daisypath Ticker

Sunday, December 31, 2006

Best Books for Year 2006 – My Version

Menutup posting di tahun 2006, gue bikin list buku apa aja sih yang meninggalkan sedikit jejak di otak dan hati gue. Entah, karena ceritanya yang emang bagus, tokohnya yang ‘mengena’ di gue, atau karena ada sesuatu dari buku itu yang bikin gue ‘berpikir’.

Ini nih daftarnya:

1. The Secret Life of Bees (Sue Monk Kidd)
Cerita tentang Lily, gadis berkulit putih yang menelusuri jejak masa lalu sang ibu yang sudah meninggal. Dia sayang banget sama pengasuhnya yang berkulit hitam, sementara di sekitarnya masih memandang perbedaan ras.

2. The Kite Runner (Kholeid Hosseini) - ma’ap kalo salah nulis.. lupa soalnya.
Kata orang, buku ini bagus banget dan bikin air mata bercucuran. Emang bagus dan touchy, tentang persahabatan yang diiringi beribu penyesalan. Gak bikin gue sampe nangis Bombay, tapi… tetap, satu kalimat yang melekat, sederhana tapi menyentuh. “Untukmu keseribu kalinya…” Huaaaa…

3. Snow Flower (Lisa See)
Lagi tentang persahabatan yang gak happy ending. Tapi, di buku ini bertaburan kalimat indah, yang ditulis Lily dan Bunga Salju di lipatan kipas.

4. Embroideries – Bordir (Marjane Satrapi)
Novel grafis pertama yang gue baca. Emang gambarnya gak menarik, gak kaya’ komik Jepang yang gambarnya kocak meskipun hitam putih, atau komik yang warna-warni, tapi, ceritanya lucu, “rumpian” khas ibu-ibu

5. Babyville (Jane Green)
Chicklit tentang 3 perempuan yang punya bayi dengan alasan yang berbeda. Bikin gue sadar, kalo punya anak itu, at least bikin rencananya aja, butuh tanggung jawab yang besar.

6. Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken (Jostein Gaarder)
Huaaa… pengen punya perpustakaan kaya’ Bibbi Bokken

7. Brokeback Mountain (Annie Proulx)
Jangan liat atau menilai cerita ini dari segi yang aneh, jangan liat dari “pelaku”nya, tapi liat how deep their love is… Sukses bikin gue hampir menangis… sedih banget… Tapi, jangan nonton filmnya, bikin il-feel.

8. Gods in Alabama (Joshilyn Jackson)
Ngajarin gue untuk berdamai dengan masa lalu, apalagi seandainya masa lalu itu banyak “cacat”, banyak kebohongan dan berbagai kesalahan.

9. 1st to Die – Perkara Pertama (James Patterson)
Buku James Patterson pertama yang gue baca. Dan sanggup untuk membuat gue dag-dig-dug sepanjang bacanya, bisa bikin gue penasaran abis, dan bikin gue jadi penggemar buku-buku beliau ini.

10. By The River of Piedra, I Sat down and Wept – Di Tepi Sungai Piedra, Aku Duduk dan Menangis (Paulo Coelho)
Buku pertama Paulo Coelhoe yang sanggup gue baca sampai habis, dan lumayan bisa gue mengerti. Cerita ini gue baca ketika gue sedang dalam masa-masa gundah dalam hubungan percintaan gue, dan, gue cukup mendapat ‘pencerahan’ setelah baca buku ini. Cinta butuh pengorbanan dan banyak pilihan, tapi ketika keputusan sudah diambil, semua itu ada hikmahnya…

Labels:

Friday, December 29, 2006

[Book Review] Siapa Bilang Kawin Itu Enak?

Siapa Bilang Kawin Itu Enak?
Tria Barnawi
GPU, September 2006
176 Hal.

Hmmm… bener-bener judul buku yang bikin orang mengerutkan kening? Gimana nggak? Ada beberapa kemungkinan nih.

(1) Kalo dibaca sama orang yang baru mau married, yang terlintas mungkin, “Aduh… ada apa dengan kawin?” Jangan-jangan malah bikin jadi batal kawin atau yaa.. bikin rencana sedikit berantakan karena ‘parno’.

(2) Dibaca sama pengantin baru… jawabannya: “Rasain aja sendiri… Mau tauuuuu aja…”

(3) Pengantin lama… mungkin bilang, “Anak muda… tau apa sih soal kawin?”

Tapi, yang pasti, baca buku ini bikin gue terkikik-kikik sendiri. Gimana nggak… sebagai pengantin baru… gue hanya bisa mengangguk-angguk penuh arti melihat beberapa kemiripan beberapa cerpen dalam buku ini. Koq bisa ya? Ternyata, permasalahan semua orang hampir sama. Seperti dalam cerita “Siapa Bilang Kawin Itu Enak?” Mulai dari ngurusin undangan, didandanin dari subuh, acara adat yang ribet dan lama, plus, acara salam-salaman ke tamu yang banyak – yang belum tentu semuanya kenal.

Buku ini dibagi dalam lima bagian, yang masing-masing menggambarkan fase-fase dalam hubungan antara sepasang kekasih menjelang pernikahan, di awal-awal pernikahan, di tengah-tengah dan ketika ‘kejenuhan’ mulai datang.

Di buku ini, ya.. maklum sih, karena penulisnya perempuan, ‘benar-benar’ menggambarkan sosok perempuan yang emang kadang susah untuk dimengerti. Gimana sensitifnya perempuan untuk masalah-masalah yang sebenernya sepele. Misalnya, berharap si cowok bisa ngerti maksud yang tersirat tanpa harus dikasih penjelasan sama si cewek. Seperti di cerita “Lamarlah Aku Seperti Mereka”.

Tria Barnawi gak hanya berkeluh kesah tentang cowok yang gak peka. Tapi, juga ‘membongkar’ perilaku pengantin baru dalam menyesuaikan diri dengan pasangannya. Kebiasaan-kebiasaan lama yang sudah ‘mendarah-daging’ jadi hal yang mengganggu ketika sudah menikah. Seperti dalam kisah “Di Kamar Tidur”, menceritakan suami yang protes dengan kebiasaan istrinya yang tidur menghadap tembok. Atau, dalam menyesuaikan diri dengan selera makan pasangan seperti dalam cerita “Ketika Lidah Jadi Masalah”.

Secara keseluruhan, cerita dalam buku ini menarik, menyegarkan. Kalo buat gue, buku ini adalah buku “Men are from Mars, Women are from Venus” dalam bentuk ‘baru’, dalam versi humor. Dan, cukup lengkap menggambarkan kehidupan para pasangan muda. Mau yang ngambek, gregetan, yang sensitif gak jelas, cemburuan, sok romantis… bahkan rasa bosan juga ada…

Di akhir buku ini, gue bahkan bisa tersenyum dan berkata dalam hati, “I’ve been there”… hehehe.. and jadi kawin itu enak gak?

Labels:

Thursday, December 28, 2006

Bad Connection

Dua hari kemarin, internet jadi bolot banget. Pertama ngerasa waktu pagi-pagi hari rabu. Seperti biasa, begitu dateng ke kantor, yang dilakukan adalah, ngecek email, buka internet explorer and browsing-browsing. Semangat dong, masih pagi, sepi.. jadinya mau update blog dulu. Di awal, masih lancar, masih bisa bayar macem-macem via internet banking.

Kira-kira jam 9, lho...lho.. koq, lambaaatttt banget... bolak-balik di-refresh, tapi tetap lama.. dan berbuntut 'The Page cannot be displayed'. He? What happened? Gue pikir karena server kantor lagi down.

Seharian, gak bisa connect ke internet, gak terima email dari selain orang kantor. Hmmm... kaya'nya emang lagi gak boleh 'main', harus konsentrasi kerja nih... :)

Lalu, besok paginya, baru gue denger radio, kalo ada gempa di Taiwan, yang mengakibatkan rusaknya kabel di bawah laut. (Gue gak ngarti...)... dan itu bisa mengakibatkan putusnya koneksi internet yang ngebenerinnya makan waktu berminggu-minggu.

Ok, deh... dan ternyata hari kamis (28/12/2006), internet juga masih gak bisa... pasrah... bengong-bengong aja di waktu istirahat.

Tapi, hari ini... ahhh... terangnya dunia... udah bisa browsing lagi... bisa update blog lagi, bisa nyari-nyari gambar lucu lagi.

Ternyata... cannot live without internet... (hiperbola mode: On)

Foto dari: http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2006/12/061227_asia.shtml



Labels:

[Book Review] The Templar Legacy

The Templar Legacy (Warisan Templar)
Steve Berry
Esti Ayu Budihabsari (Terjh.)
GPU, November 2006
528 Hal.
Rp. 65,000
Mulai baca: 25/11/2006 (di Hotel Saphir, Jogja)
Selesai baca: 26/12/2006 (di rumah, Cibubur)

Misteri yang melingkupi kematian Yesus masih menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemar cerita fiksi - sejarah. Dilatarbelakangi dengan sejarah tentang ksatria Templar yang sudah musnah di abad ke 14.

Cerita diawali dengan penyiksaan ketua ksatria Templar, Jaques de Molay oleh Raja Philips IV. Inilah awal dari runtuhnya kejayaan ksatria Templar. Tapi, ternyata meskipun mereka dianggap sudah tidak ada, masih ada sisa-sisa prajurit yang setia, yang masih bertahan hingga saat ini. Salah satunya berada di Biara de Fointainess, Pyrénées.

Kiri: Jaques de Molay; Kanan: Philips IV


Cerita bergulir ke masa tahun 2000an. Di Kopehagen, Stephanie Nell datang ke sebuah pelelangan buku langka yang dianggap tidak menarik. Tapi, ternyata buku itu terjual dengan harga yang sangat tinggi. Hanya dua orang yang memperebutkan buku tersebut. Stephanie tidak mendapatkan buku itu. Tapi, selain Stephanie dan si pembeli buku tersebut, masih ada pihak lain yang tertarik dengan buku itu, yang berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara termasuk membunuh.

Peta & Gambar Bagian Dalam Round Tower

Cotton Malone, mantan bawahan Stephanie ketika masih menjadi agen lapangan Departemen Kehakiman. Malone pensiun dini dan menjadi pedagang buku antik di Kopenhagen. Melihat mantan boss-nya dalam bahaya, Malone tidak tinggal diam.

Sementara itu, di saat yang sama, di Biara de Fontainnes, sang Ketua sedang sekarat, meregang nyawa. Kepada sang seneschal, ia meninggalkan pesan-pesan untuk menjaga keutuhan biara dan ordo Templar. Tapi, ketika sang ketua tiada, Raymond de Roquefort, salah seorang biarawan segera mempengaruhi biarawan lainnya untuk memilihnya sebagai ketua. de Roquefort berambisi untk mengembalikan kejayaan ordo Templar.

Oleh karena itu, de Roquefort berusaha merebut buku dan jurnal suami Stephanie, Lars Nell, yang meneliti tentang sejarah Templar. de Roquefort berusaha menemukan Rancangan Besar yang masih menjadi misteri itu. Buku yang jadi rebutan itu ternyata berisi tentang misteri harta karun dan pengetahuan rahasia para ksatria Templar.


Pilar Visigoth


Berbagai misteri pun terungkap. Fakta-fakta sejarah yang selama ini jadi pertanyaan dan menimbulkan banyak perdebatan, pelan-pelan mulai mendapat titik terang. Kejar-kejaran antara kubu Cotton Malone dan kubu de Roquefort menambah ketegangan. Setiap saat nyawa mereka bisa jadi taruhannya. (note: gak tau kenapa sedikit terganggu dengan tokoh Cassiopea)


Gereja di Rennes-le-Chateu

Bérenger Saunière


Beberapa bagian sejarah dalam buku ini, menurut Steve Berry, memang benar adanya. Meskipun ada bagian yang dikembangkan dan dimodifikasi. Seperti Biara de Fontainness yang merupakan biara rekaan Steve Berry. Yang menarik lagi, adalah tempat-tempat yang dikunjungi Cotton Malone and the gank.

Tentang Rennes-le-Chateu bisa dilihat di http://www.rennes-discovery.com/

Foto-foto diambil dari:

http://www.visit-copenhagen.com/ (round tower & peta)
http://www.gramedia.com/ (cover buku)
http://en.wikipedia.org/wiki/ (Foto Jaques de Molay & Philips IV)


Labels: , ,

Wednesday, December 20, 2006

[25.11.2006] Last Day in Jogja

Hari ini kita pulang ke Jakarta. Pagi-pagi, beres-beres koper lagi. Masuk-masukin semua barang yang gak terpakai lagi. Hmmm.. biasa deh, setiap mau pulang, selalu kesulitan untuk beresin koper. Selain karena barang yang bertambah, juga karena males beres-beresnya. Males pulangnya. Masih betah liburan. Sambil beres-beres, pesanan bakpia-nya dating satu kotak. Kita sengaja mesen ekstra 3 kotak kosong, buat naro barang-barang lain yang gak bisa masuk koper.

Setelah sarapan, dianter Pak Katman, kita kembali ke tempat jualan gudeg di Wijilan, mau beli gudeg buat dibawa ke Jakarta. Setelah beli gudeg, kita kembali ke hotel. Beres-beres koper lagi. Kita udah minta untuk late check out. Jadi paling lambat, jam ½ 3 paling lambat udah harus keluar kamar.

Jam 2, setelah barang beres, kita langsung minta room boy untuk bawa barangnya ke bawah. Karena pesawat kita baru berangkat jam 6, jadilah kita jalan-jalan dulu ke Mal Ambarukmo lagi, naik becak. Tapi, kali ini bukan sama Pak Katman, karena beliau lagi narik.

Di Mal Ambarukmo lagi ada acara promo motor apa gitu. Bintang tamunya Aca sama Irwansyah – yang nyanyi soundtrack film Heart. Banyak ABG di sana.

Karena merasa belum punya ‘sesuatu’ untuk diri sendiri oleh-oleh dari Jogja, akhirnya, kita mampir Gramedia, dan ‘menghadiahkan’ diri kita sendiri untuk beli buku. Gue beli buku The Templar Legacy (Warisan Templar) dan beberapa postcard bergambar lukisan orang-orang Jogja Tempo Doeloe.

Jam ½ 4 kita balik ke hotel. Duduk di lobby hotel. Baca-baca aja buku yang baru kita beli. Tapi, koq ngantuk.

Jam ½ 5 kita dianter ke airport. Sampai airport langsung check-in. Mmm.. membandingkan bandara Adi Sucipto sama Soekarno-Hatta… well.. jauh banget. Tapi, gak bisa juga ya dibandingin.

Di ruang tunggu, rame banget. Dan yang bikin gue sebel, banyak kursi kosong, tapi setiap mau didudukin, orang di sebelahnya bilang, “Sorry, ini kursi temen saya.”, atau ada yang ditempatin koper, tapi orangnya entah ke mana, dan yang paling nyebelin lagi, gue udah dapet tempat duduk, pas gue lagi baca, tiba-tiba ada bapak-bapak dateng dan bilang, “Ma’af, ini kursi saya.” Langsung gue tinggal, dengan tampang sewot. Gak ada nama-nya kalo itu kursi dia

Pesawat rada delay sebentar. Dan ternyata, kita satu pesawat sama Aca – Irwansyah dan rombongannya. Waktu di pesawat, sempet ngelewatin daerah berawan. Pesawat sempet terguncang naik-turun beberapa detik, dan bikin gue ‘parno’.

Pesawat mendarat dengan mulus di Soekarno-Hatta. Nunggu barang sebentar. Dan kita pulang naik taksi ke rumah.

Sampai rumah, langsung bagi-bagi oleh-oleh dan istirahat. Berangan-angan bisa jalan-jalan lagi ke tempat lain.

Labels:

Tuesday, December 19, 2006

1 Bulan Pertama

Sudah satu bulan berlalu sejak pernikahan gue dan bagus. Hmmm… apa yang berbeda? Biasanya tidur sama mama & maya, sekarang tidur sama suami. Berusaha beradaptasi dengan segala kebiasaanya yang selama ini gak gue ketahui.

Di hari-hari pertama, gak berasa kalo kita udah nikah. Masih kaya’ pacaran. Termasuk gaya kita kalo lagi ribut, marahan dan bertengkar.

‘Kegiatan’ baru gue di pagi hari:
- bikin teh
- kalo sempet nyiapin sarapan… tapi, my hubby suka gak mau makan roti, dia maunya nasi!
- Karena suami gue biasanya berangkat siang, jadi gue pergi duluan, gue akan mencium tangan dia, plus pipi kiri-pipi kanan.

‘Kegiatan’ baru di malam hari:
- nyiapin termos untuk minum
- ngeluarin keranjang baju kotor
- ‘ngomel’ kalo kamar berantakan

Pengertian dan sabar.. wuih… itu kali ya, harus diutamain. Kadang banyak kebiasaan dia selama ini yang bikin gue kesel. Begitu juga, dengan kebiaaan lama gue yang kadang bikin suami gue marah. Kadang buntutnya jadi ribut-ribut kecil. Berbesar hati untuk mengakui kesalahan, kadang jadi hal yang sulit, karena meskipun kadang gue belakangan sadar kalo gue salah, gue tetap mau ngambek duluan, berharap suami gue gak panjang keselnya… meskipun kadang gagal..hehehe..

Soal anak.. hmmm.. baru sebulan, udah bolak-balik banyak yang nanya, “Udah hamil belum?” Kadang gue kaget dengan pertanyaan itu, seolah setiap yang abis nikah, ‘dituntut’ untuk segera hamil. Gue gak ngotot untuk segera hamil. Kalau emang gue ‘dinyatakan’ siap dan diberkahi untuk hamil, gue akan sangat bersyukur.

Tapi, satu yang bikin gue nyaman banget. Ketika gue lagi down, ada seseorang yang akan memeluk gue, yang akan menenangkan hati gue.

Orang bilang, pengantin baru yang usianya belum lewat 40 hari, masih akan berasa manis seperti madu, tapi setelah lewat… hmmm… barulah dimulai ‘kehidupan baru’ yang sebenarnya.

Gue selalu berdoa, semoga rumah tangga gue selalu berada dalam keadaan penuh cinta kasih, kedamaian, ketenangan dan kasih sayang…

[Book Review] If Only It Were True

Photobucket - Video and Image Hosting

If Only It Were True (Andai Ia Nyata)
Mark Levy
Gramedia, November 2006
272 Hal.

"Yang akan kukatakan ini tidak mudah dimengerti, mustahil dipahami, tetapi kalau kau bersedia mendengarkan ceritaku, kalau kau mau menaruh keyakinan padaku, barangkali akhirnya kau akan percaya. Dan itu sangat penting karena tanpa kausadari, kau satu-satunya orang di dunia dengan siapa aku dapat berbagi rahasia ini."

Gak akan ada yang bisa percaya kalo manusia bisa jatuh cinta sama hantu. Malah bukan hantu, tapi setengah hantu. Sosok yang belum meninggal, masih koma, tapi udah ‘gentayangan’. Paling nggak, Arthur sendiri yang mengalaminya gak percaya kalau dia bisa melihat ‘makhluk halus’ yang cantik.

Arthur adalah seorang arsitek yang baru pindah apartement, tiba-tiba suatu malam dikagetkan dengan sesosok perempuan yang ‘bertengger’ di lemarinya. Hampir dia kira perempuan itu gila, kalau saja perempuan itu gak cepat-cepat menunjukkan buktinya. Dan, kebalikannya malah Arthur yang dikira gila oleh orang-orang di sekelilingnya karena sering terlihat bicara sendiri.

Perempuan itu, adalah Lauren, seorang calon dokter dengan masa depan yang cemerlang. Sosok yang ceria, penuh percaya diri, giat bekerja dan keras kepala. Di suatu pagi yang menjanjikan keceriaan, dalam perjalanan akhir pekan, Lauren mengalami kecelakaan hebat. Mobilnya hancur, dirinya sempat dinyatakan meninggal, sebelum akhirnya jantungnya tiba-tiba berdenyut kembali.

Serangkaian operasi dijalankan, tapi, malah mengakibatkan koma yang panjang bagi Lauren. Enam bulan Lauren seolah sadar tapi hanya di dalam tubuhnya. Ia ‘berlatih’ untuk berpindah tempat, dan akhirnya sampailah ia ke apartemennya.

Mereka berdua ternyata bisa menjalani pertemanan yang aneh itu. Arthur mulai percaya dengan sosok Lauren. Sampai akhirnya, mereka harus dihadapi pada kenyataan bahwa rumah sakit tidak mau lagi menanggung biaya pengobatan Lauren yang tidak pernah menampakkan kemajuan.

Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

Dibantu Paul, rekan sekerjanya, Arthur nekat ‘menculik’ Lauren dari rumah sakit dan membawanya ke rumah masa kecilnya di Carmel.

Di sanalah, sambil mengenang masa kecil dan sosok sang ibu, Arthur menyadari ia mencintai Lauren.

Tapi, gimana selanjutnya? Ketika polisi mencium adanya penculikan di rumah sakti. Apa tetap membiarkan tubuh Lauren terkapar di ruang bawah tanah tanpa perawatan yang berarti, atau mengembalikannya ke rumah sakit? Detik-detik yang berlalu menjadi amat sangat berharga dalam kebersamaan mereka.

Nice love story. Harus segera nonton versi layar lebarnya – Just Like Heaven.

Photo from:
http://www.carmelcalifornia.com/

Labels:

Monday, December 18, 2006

[24.11.2006] Parangtritis

Kunjungan kita hari ini adalah Pantai Parangtritis. Abis terus terang kita bingung mau ke mana lagi. Mau ke Borobudur… kejauhan.. Ke Prambanan.. juga gitu.. Kaya’nya Bagus gak terlalu berminat. Tadinya kita mau ke Pantai Depok, masih daerah Parangtritis juga. Di sana ada tempat lelang ikan. Jadi, kita bisa beli dan langsung dimasak di sana. Kaya’ di Muara Karang kali ya. Tapi, karena menuju ke sananya susah kalo gak ngerti jalan, jadi atas saran Pak Katman, sebaiknya gak usah ke sana.

Sebelum pergi kita di-briefing sama Pak Katman. Dikasih tau harus naik bis yang mana aja. Terus, rutenya ke mana. Pak Katman diajakin gak mau. Masih trauma katanya gara-gara gempa dan tsunami kemarin.

Ya udah, dari depan hotel, kita naik bisa menuju terminal. Di terminal kita ganti bisa yang langsung menuju Parangtritis. Lama juga nunggu bis-nya jalan. Karena gak banyak yang naik dengan tujuan arah Parangtritis. Pertama, karena bukan hari libur, kedua, menurut kabar, emang sekarang jarang yang mau ke Parangtritis.

Akhirnya, setelah kursi terisi beberapa, bis-nya berangkat juga. Perjalan ke Parangtritis lumayan jauh. Di tengah jalan emang banyak penumpang yang naik, terutama anak-anak yang baru pulang sekolah. Cuaca lumayan panas. Di daerah Bantul, terlihat beberapa rumah penduduk yang rusak karena gempa. Di antaranya ada yang masih terpasang tenda di depan rumahnya, sementara nunggu rumah mereka lagi dibangun kembali.

Sampai di Parangtritis, penumpang hanya tinggal kita berdua.

Photobucket - Video and Image Hosting

Di sekitarnya, suasana bisa dibilang sepi dan hening. Gak enak banget rasanya. Kaya’ bukan tempat wisata. Warung-warung di pinggir pantai memang buka, tapi ya itu sepi pengunjung. Hanya ada beberapa gelintir orang aja, termasuk kita berdua, dan sepasang turis Jepang.

Photobucket - Video and Image Hosting

Sepi.. itu deh kesan pertamanya. Kita nyewa andong untuk bolak-balik sepanjang Parangtritis. Angin bertup kencang. Ombak juga cukup besar. Kaya’nya beda banget sama Pantai Kuta. Kalo Pantai Kuta sepertinya lebih ‘bersahabat’, lebih ‘ceria’ karena banyak orang. Warna airnya lebih biru jernih. Bisa menarik orang untuk sekedar main-main di pantai. Tapi, kalo Parangtritis, liat dari jauh aja ada kesan yang ‘menakutkan’. Mungkin karena pengaruh mitos ‘Ratu Pantai Selatan’ kali ya. Tapi, yang jelas, ngeliat airnya yang warna hijau gelap dan ‘tebal’, lalu ombak yang besar, sama sekali gak menunjukkan kesan ‘bersahabat’. Malah yang ada merinding ngeliat air yang begitu. Kata kusir andong, biar pun dekat ke pinggir pantai, air yang warnanya gelap itu lumayan dalam. Benar-benar sunyi senyap, hanya ada suara debur ombak.

Photobucket - Video and Image Hosting

Setelah puas memandang laut, kita duduk di salah satu warung, pesen mie bakso. Sambil istirahat. Tapi, ternyata mie baksonya gak enak. Rasa baksonya kaya’ bakso udah kadaluarsa.

Jam 12an kita bergerak pulang. Naik bis lagi menuju terminal. Di perjalanan, duh.. ngantuk banget. Bolak-balik tertidur. Perjalanan yang panjang bikin mata ini susah dikompromikan. Dari terminal, kita balik lagi ke hotel. Beli makan siang dulu di… Kentucky… again!!

Lalu, kita makan di kamar sambil nonton tv dan beres-beres. Istirahat dulu.

Malamnya, kita jalan ke mal ambarukmo, naik becak lagi. Mal ini kaya’nya mal yang paling besar di Jogja. Dan, sepertinya sih baru buka. Isinya hampir sama dengan yang ada di Jakarta. Ada Carrefour, bread talk, centro, gramedia, macem-macem deh. Bioskop 21 juga ada.

Foodcourt-nya juga berisi makanan-makanan yang biasa ada di Jakarta, tapi kita makan di solaria aja. Pengen santai-santai dikit.

Balik ke hotel. Packing koper dan oleh-oleh yang bikin bingung gimana bawanya, karena besok kita sudah harus balik ke Jakarta lagi.

Labels:

Sunday, December 17, 2006

[Book Review] Every Boy’s Got One

Photobucket - Video and Image Hosting

Every Boy’s Got One (Semua Pria Pasti Punya)
Meg Cabot
Uni Setiawati (Terj.)
GPU, Oktober 2006
424 Hal.

Jadi saksi kawin lari adalah hal yang ‘spektakuler’ bagi Jane Harris. Gimana nggak, ia akan terbang ke sebuah tempat di Italia, diminta oleh sahabatnya, Holy Caputo untuk jadi saksi pernikahannya dengan Mark Levine. Jane Harris, seorang kartunis yang menciptakan tokoh Wondercat, sudah mempersiapkan sebuah kado untuk mereka berdua, yaitu sebuah ‘Diary Perjalanan Holy Caputo dan Mark Levine’. Diary ini akan diberikan setelah rangkaian kawin lari mereka selesai.

Jane begitu semangat ketika mendapatkan cap dari imigrasi Italia di paspornya. Cap pertamanya! Tapi, sayang, teman seperjalanannya yang juga saksi pernikahan dari pihak Mark Levine, Cal Langdon, adalah orang yang ‘menyebalkan’, paling tidak begitu anggapan Jane Harris. Cal Langdon adalah seorang jurnalis yang kerap bepergian ke luar negeri, jadi wajar dong, kalo dia gak tau apa sih Wondercat itu? Karuan Jane sewot dan memasang ‘bendera perang’ sejak Cal mengejek soal pembelian air mineral di airport yang banyak banget.

Photobucket - Video and Image Hosting

Le Marche, itulah tempat yang dipilih Holy dan Mark. Mereka tinggal di tempat paman Holy. Pengurus rumah tangganya adalah Frau Schumacher, wanita asal Jerman, beserta cucunya, Peter – 'Wundercat No. 1 Fan’ yang gemar berkeliling dengan motorino-nya. Jane girang banget, dan berhasil menunjukkan ke Cal, kalo Wondercat-nya terkenal di pelosok Italia.

Ternyata Le Marche (dan Italia) masih tergolong ‘primitif’ di mata Jane – lampu mati kalau oven menyala, tidak ada toilet duduk di tempat umum – yang ada hanya toilet jongkok. Jane bilang, “Inilah sebabnya kenapa Amerika jadi negara adikuasa dan kalian tidak, karena kami memikirkan kenyamanan toilet.”

Ternyata ‘perjalanan’ kawin lari itu gak berjalan mulus. Holy dan Mark harus mendapatkan surat-surat dari Konsulat AS di Roma. Dan pada hari keberangkatan mereka ke Roma, pasangan calon pengantin itu keracunan karena makan tiram mentah. Jane tidak tinggal diam, dia gak rela kalo pernikahan sahabatnya itu gagal. Bersama Cal, dia pergi ke Roma demi mendapatkan surat-surat bagi temannya.

Photobucket - Video and Image Hosting

Serangkaian cerita dalam buku ini ditulis dalam bentuk e-mail di Blackberry, curhatan Cal di PDA-nya, dan tentu saja, catatan perjalanan yang ditulis Jane Harris di diary-nya. Dan gaya penulisan ini, bikin buku ini jadi kocak dan gak membosankan.

Dan ternyata, cerita ‘kawin lari’ ini adalah pengalaman pribadi dari Meg Cabot! Di akhir cerita, Meg Cabot menyisipkan cerita tentang latar belakang penulisannya. Unik, menarik dan romantis…


Photo source:

http://www.le-marche.com/Marche/index.htm
http://www.bellemarche.co.uk/

Labels:

Friday, December 15, 2006

[23.11.2006] – Bakpia Pathok 25, Keraton, Gudeg Wijilan, Kota Gede

Hari ini kita udah janjian sama Pak Katman yang akan ngaterin kita keliling Jogja .Ya… gak keliling banget sih… kasian aja, kalo pake becak. Rencananya hari ini mau liat Keraton Jogja, terus nyari Bakpia sama Gudeg.

Selesai sarapan, kira-kira jam 9, kita start dari hotel. Udara cerah, lumayan panas. Kata Pak Katman, sebaiknya ke tempat bakpia dulu, karena jalannya searah dengan Keraton. Kita sih terserah aja. Bakpia itu banyak banget nomernya, ada 25, 75, 41 atau berapa lagi. Dan kaya’nya setiap tukang becak punya ‘jagoan’ masing-masing. Waktu lagi jalan di malioboro, para tukang becak bilang, “Ayo, mbak, bakpia-bakpia, saya anter langsung ke pabriknya.”

Nah, ‘jagoan’nya pak katman ini kebetulan bakpia yang ‘direkomendasikan’ dari mama, yaitu Bakpia 25. Jadilah kita diantar langsung ke pabriknya. Di sepanjang jalan emang banyak toko-toko yang jual bakpia, tapi kata Pak Katman, “Saya antar langsung ke pabriknya.”

Tempat Bakpia 25 terletak masuk ke dalam gang. Halamannya lumayan luas. Begitu kita masuk ke dalam, banyak penganan yang dijual untuk oleh-oleh, gak hanya bakpia pathok yang khas Jogja, tapi ada juga Yangko yang di kotaknya tertulis makanan khas Kota Gede. Ada juga dijual dodol garut, brem medium. Bakpianya sendiri ada beraneka rasa, dari yang rasa asli kacang hijau, lalu ada kacang merah, keju, coklat, dan nanas. Kalo Yangko itu, gak ngerti juga terbuat dari apa, tapi ada yang rasa kacang, dan anek rasa lainnya. Kita sempet ngeliat proses pembuatan bakpia.

Photobucket - Video and Image Hosting

Setelah pesen untuk oleh-oleh. Kita berangkat lagi menuju Keraton Jogja. Di sana kita hampir dikenakan tiket untuk orang asing, yang harganya Rp. 12.500, tapi untuk turis local harganya Rp. 5.000 saja. Plus charge untuk bawa kamera.

Untuk keliling Keraton, kita harus diantar guide, katanya, banyak tempat-tempat yang gak boleh dimasukkin, jadi biar pengunjung gak salah, ya harus dianter.

Berasa belajar sejarah lagi. Kita mulai dari depan, kita ngeliat salah satu pendopo yang hancur karena gempa. Dan anehnya, itu satu-satunya bangunan yang ambruk, padalah satu pendopo lagi di seberangnya gak kenapa-kenapa.

Terus, diajak masuk ke tempat pameran barang-barang yang dipakai sultan-sultan sebelumnya, terutama Sultan HB IX, mulai dari pakaian sekolah, pakaian adat waktu sunatan, barang pecah-belah yang pernah dipakainya. Setiap sultan gak punya barang yang sama. Gue sempet naksir satu set toples warna biru, kesannya antik, klasik dan cantik.

Ada satu museum yang tergolong baru, yang isinya barang-barang seperti meja tulis, lencana-lencana yang pernah dipakai oleh Sultan HB IX. Kaca-kaca yang mengelilingi ruang itu juga katanya ada beberapa yang pecah karena gempa. Tiang-tiang disepuh dengan emas. Kesannya megah banget.

Selain itu ada ruangan yang isinya cindera mata dari negara-negara sahabat yang juga berasal dari sultan-sultan sebelumnya. Mulai dari lampu, vas, tempat lilin, berbagai macam keramik yang bagus-bagus banget. Dan anehnya, waktu gempa, gak ada satu pun yang rusak, hanyak dinding-dindingnya yang retak. Hmmm…

Photobucket - Video and Image Hosting

Lalu, ada ruang lukisan. Di dalam ruang ini, ada satu lukisan Sultan HB VII atau VIII ya, lupa… yang dilukis Raden Saleh dan bentuk 3 dimensi. Jadi kemana pun kita bergerak, lukisan itu seolah menghadap tempat kita berdiri. Di dalam ruangan ini, cukup bikin gue merinding…

Kunjungan kita berakhir di ruang batik. Di Museum Batik ini, gak boleh foto, karena katanya menyangkut hak cipta.

Lumayan lama juga kita di Keraton. Menurut pemandunya tadi, sejak gempa, Keraton ini tergolong sepi. Pas barengan kita, ada rombongan anak-anak dari Jakarta yang lagi study tour dan beberap turis asing.

Photobucket - Video and Image Hosting

Perjalanan dilanjutkan dengan mencari tempat gudeg. Katanya di daerah Wijilan. Di terowongan menuju WIjilan ada tulisan, “Selamat Datang di SENTRA MAKANAN KHAS GUDEG”. Ternyata di sepanjang jalan itu, berderet yang jualan gudeg dengan berbagai macam merk: Gudeg Bu Lies, Bu Widodo – dan yang kita tuju, yang direkomendasikan dari Jakarta, adalah Gudeg Yu Djum. Kita makan siang, lesehan, di sana. Isinya, gudeg lengkap. Rasa gudeg-nya emang lebih enak dibanding yang ada di seberang hotel kita. Krecek-nya lebih terasa, lebih pedas. Dan porsinya pas, gak bikin ‘eneg’. Harganya juga sedikit lebih murah dibanding yang kemarin kita makan.

Photobucket - Video and Image Hosting

Jalan Wijilan - Sentra Makanan Khas Gudeg

Setelah makan, rada malas bergerak lagi. Soalnya panas banget. Tapi, masa’ mau balik ke hotel. Sayang banget kan. Akhirnya, kita menuju Kota Gede. Perjalanan ke Kota Gede cukup jauh ternyata. Dan kita berhenti di salah satu toko, Ansor Silver. Dan milih-milih perak untuk oleh-oleh.

Photobucket - Video and Image Hosting

Miniatur Candi Borobudur dari Perak

Dalam perjalanan pulang yang jauh banget itu, kita sempet ketiduran di becak. Sampe hotel jam 3an. Lalu, kita istirahat.

Malamya, kita ke Malioboro lagi. Masih harus cari oleh-oleh lagi. Kita beli berapa t-shirt lagi. Dan malam itu, Jogja diguyur hujam yang lumayan deras. Batal rencana kita untuk makan lesehan di Malioboro. Akhirnya, kita makan… Kentucky lagi!

Photobucket - Video and Image Hosting

Setelah hujan reda, kita pulang. Tapi, ternyata, hujan yang lumayan deras turun lagi. Akhirnya, kita kebasahan di becak.

Sampai hotel, lumayan teler, karena perjalanan kita yang ‘panjang’ hari ini.

Labels:

Thursday, December 14, 2006

[22.11.2006] Berangkat ke Jogja

Hari ini ceritanya kita berdua mau honeymoon. Pagi-pagi kita berangkat ke airport, karena kita ambil pesawat jam 08.10. Untung, pesawatnya gak delay. Perjalanan hanya 1 jam dari Jakarta – Jogja. Hehehe.. gak berasa… perjalanan rumah ke kantor aja masih lebih lama.

O ya.. kenapa kita milih Jogja? Gak tau juga, deh.. tapi, setiap ada bayang-bayang pengen liburan, salah satu kota impian ya… Jogja. Gue baru sekali ke Jogja, pas smp kalo gak salah.. dan gue pengen banget bisa ke Parangtritis lagi. Sempet khawatir, karena katanya masih ada gempa-gempa susulan. Banyak yang nanya, “Koq gak ke Bali?” Jawaban gue, "Baru abis dari Bali soalnya." Lagian, biar beda aja, ama yang lain. Kalo umumnya honeymoon ke Bali, kita berdua pengen nyari yang lain. Kalo soal romantis... di mana aja, bisa kan?? Hehehe…

Jam 09.10, pesawat mendarat dengan mulus di Adi Sucipto. Kesan pertama… wahhh.. panasssss!! Dari pesawat menuju ruang ambil bagasi hanya berjarak sekitar 5 meter. Dan nunggu barang juga gak terlalu lama.

Begitu keluar, udah ada dari pihak hotel Saphir yang jemput. Sampai di hotel, urus-urus dulu. Ternyata kamar yang seharusnya kita tempatin belum beres, jadinya kita dikasih kamar sementara. Baru jam 12, kita pindah ke kamar yang sebenarnya.

Setelah beres-beres, kita keluar nyari makan. Bingung mau makan apa. Akhirnya, kita memutuskan untuk nyebrang ke warung gudeg di seberang hotel. Namanya apa ya? Lupa…

Pesen gudeg lengkap. Sempet takjub dengan porsinya yang luar biasa banyak. Dada ayamnya gede banget, nasinya banyak banget. Tapi.. ya, sudahlah… kita nyoba nasi gudeg pertama kita. Rasanya sih, biasa aja. Mungkin karena emang, kita belum tau, gimana rasa gudeg yang enak. Sambil makan, kita ngatur rencana mau ke mana. Dan, pas bayar… wuih… mahal banget… Mana tuh, yang katanya makan di Jogja murah meriah… Nasi gudeg dua porsi, plus teh botol menghabiskan uang 30ribu.

Setelah makan, kita nyebrang lagi. Di depan hotel itu, banyak banget becak dengan tulisan nama hotel. Kita ngobrol sebentar di tempat jual pulsa. Tanya-tanya rute bis. Tadinya, kita mau ‘mencarter’ mbak-mbak yang jaga tempat jual pulsa itu, mau diajak jadi guide, tapi ternyata gak dibolehin sama bos-nya. Pas kita lagi mau nunggu bis menuju Malioboro, ada tukang becak lewat depan kita, katanya, “Jangan naik bis, banyak copet. Sini saya anter kalo mau ke Malioboro.” Akhirnya, kita naik becak ke Malioboro. Menikmati suasana sore di Jogja pake becak.

Photobucket - Video and Image Hosting

Dulu seinget gue, di Jogja lebih banyak sepeda dibanding mobil, tapi sekarang, motor yang mendominasi kaya’nya.

Sepanjang jalan, Pak Katman, nama tukang becak itu, menawarkan diri untuk nganterin keliling Jogja by becak. Kendaraan tradisional lain, selain becak, ada andong lengkap dengan kusirnya yang rata-rata berbaju tradisional jawa.

Photobucket - Video and Image Hosting

Malioboro masih ramai. Rata-rata barang yang mereka jual itu seragam. Batik-batik, kaos Dagadu ‘palsu’, tas-tas anyaman. Sempet bingung ngelewatin beberapa penjual. Jalan terus, kali-kali ada yang bagus, yang beda… tapi, ternyata sama aja. Akhirnya, kita mampir ke salah satu yang jual t-shirt Dagadu. Ternyata gambarnya unik-unik. Gue pikir, hanya t-shirt dengan kata-kata or gambar sok lucu. Tapi, ternyata ada juga yang gambar Jogja Tempo Doeloe, seperti gambar Sepeda Ontel, Malioboro Tempo Doelo, terus, ada satu yang lucu, gambar Mbak Maridjan!! Lumayan banyak borong t-shirt Dagadu ini. Malah gue sendiri beli 3 buah. Soalnya, baju t-shirt yang gue bawa rata-rata tangan tanggung dan agak tebel, rada gak cocok buat liburan. Jadilah gue beli t-shirt dengan gambar yang antik-antik itu.

Photobucket - Video and Image Hosting

Jalannn… terus sampai Malioboro abis. Di sini ternyata ada juga yang jual tas semangka yang dulu gue liat di Bali. Gue beli sandal manik-manik, soalnya sandal yang gue pake gak terlalu nyaman buat jalan santai dan jauh.

Jam 7an, kita selesai belanja. Duh.. jalan balik menuju becaknya yang rada males. Udah cape’… jauh pula… Pak Katman masih setia menanti kita abis borong.

Sebelum masuk hotel, kita beli minuman dulu di seberang hotel. Wahh.. baru sadar kalo ternyata di sebelah hotel ada mall, namanya Saphir Mall.

Sampai hotel, kita beres-beres belanjaan. Bingung.. gimana nanti bawa pulangnya. Setelah mandi, kita nyari makan malam. Udah jam 9an, jadinya bingung mau ke mana. Akhirnya, kita ke Saphir Mall. Beli… Kentucky…!!! Karena udah mau tutup, kita makan di kamar hotel aja.

Istirahat, sambil nyusun rencana lagi buat besok.

Labels:

Sam's Letters to Jennifer - The Picture

Waktu baca buku Sam's Letters to Jennifer, banyak banget tempat-tempat 'romantis' dan indah yang jadi tempat kencan Sam dan Doc, juga Jennifer dan Brendan. Iseng-iseng aku browsing, dan hasilnya dapatlah beberapa gambar berikut

Lake Geneva

gambar diambil dari:

http://www.cruiselakegeneva.com/
http://www.lakegenevawi.com/
http://www.cruiselakegeneva.com/riviera.php


Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting



Lake Superior, Copper Harbor, Michigan

gambar diambil dari:

http://en.wikipedia.org/wiki/Lake_Superior
http://www.copperharbor.org/



Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

[Book Review] Sam’s Letters to Jennifer

Photobucket - Video and Image Hosting
Sam’s Letters to Jennifer (Surat-Surat Sam untuk Jennifer)
James Patterson
Monica Dwi Chresnayani (Terj.)
Gramedia, November 2006
272 Hal.

James Patterson gak hanya jago ngarang cerita thriller yang sukses bikin jantung pembacanya ikutan dag-dig-dug. Tapi, beliau ini juga punya kemampuan untuk bikin pembacanya mengharu-biru dan berurai air mata.. (Hiperbola mode: On)

Pertama lewat buku Suzanne’s Diary for Nicholas (Buku Harian Suzanne untuk Nicholas), dan sekarang lewat Sam’s Letters to Jennifer (Surat-Surat Sam untuk Jennifer).

Hubungan Jennifer dan Sam, neneknya sangat dekat, terutama karena orang tua Jennifer serta suaminya sudah meninggal. Otomatis, tempatnya curhat hanyalah sang Nenek yang tinggal di Lake Geneva. Setiap musim panas, Jennifer selalu pulang ke rumah Sam yang terletak di tepi danau.

Tapi, musim panas kali ini ternyata bukanlah musim panas yang menyenangkan untuk Jennifer. Sam masuk rumah sakit dan koma. Ketika Jennifer datang ke rumah itu, ada setumpuk surat yang ditujukan untuknya. Surat itu ternyata ditulis oleh Sam.

Surat-surat itu berisi rahasia dari masa lalu Sam yang cukup mengejutkan bagi Jennifer. Surat-surat itu mengubah pandangannya terhadap apa yang ia yakini selama ini. Tapi, Jennifer banyak belajar dari surat-surat itu, terutama tentang cinta. Jennifer berusaha membuka dirinya lagi untuk cinta yang baru.

Seperti kata-kata dari Sam: Cinta tidak pernah mati.

Wednesday, December 13, 2006

[Movie Review] The Stepford Wives

Photobucket - Video and Image Hosting


Menurut gue, ini termasuk film komedi tapi berakhir dengan tragis.

Jadi, tersebutlah Joana (Nicole Kidman), wanita karir yang sukses besar di industri pertelevisian. Acara-acara yang dia buat selalu sukses di pasaran. Tapi, dia malah ‘tersandung’ di acara reality show terbarunya. Dan terpaksalah Joana dipecat. Joana pun stress berat.

Suami Joana, Walter (Mathew Broderick) mengajak keluarganya pindah ke daerah Stepford. Alasannya biar Joana dapat suasana baru.

Photobucket - Video and Image Hosting


Tapi, tempat ini ternyata aneh banget. Perempuan-perempuannya berdandan seragam, rambut pirang, panjang, baju kaya’ Barbie, cara senyum mereka sama, cara bicara. ‘Dikomandanin’ sama Claire (Glenn Close), para ibu-ibu Barbie ini ‘dituntut’ untuk selalu melayani suami mereka. Sementara suami-suami mereka, berkumpul di sebuah Club House. Di sana mereka hanyak main bilyar, ngobrol dan terkadang ‘merendahkan’ istri mereka.

Joana berusaha menyesuaikan diri dengan keanehan itu. Tapi, makin lama, Joana curiga, terutama ketika ada pesta rakyat, salah seorang istri, tiba-tiba berputar-putar tanpa kendali, tau-tau dia jatuh dan ‘pingsan’, tapi menurut Joana, perempuan itu mengeluarkan asap dari telinganya.

Photobucket - Video and Image Hosting


Mulailah Joana, sama dua temennya yang juga merasakan kejanggalan, Bobby (Bette Midler) – seorang penulis, dan Roger (Roger Bannister – yang ngejer-ngejer Bree di Desperate Housewives) – yang gay, nekat mengendap-endap ke dalam club house.

Setiap hari berada di club house, Walter mulai ‘teracuni’ dan bertekad untuk juga mengubah istrinya jadi penurut. Suatu hari, Joana berhasil menemukan penyebab kenapa perempuan-perempuan itu terlihat seragam. Dan, Joana menyusul Walter ke club house untuk mengajak dia segera ‘cabut’ dari Stepford.

Tapi, sampai di sana, malah Joana ‘dipaksa’ untuk berubah, dipaksa untuk jadi seperti perempuan-perempuan lain di Steford. Ternyata, para pria di Steford gak rela kalo perempuan punya kedudukan yang lebih tinggi dari mereka.

Photobucket - Video and Image Hosting


Sampai akhirnya di sebuah pesta dansa, terungkaplah rahasia yang sebenarnya, semua pria kalang kabut ketika melihat istri mereka ‘normal’ kembali.

Ternyata kesempurnaan gak menjadikan semua jadi lebih baik. Cinta yang berlebihan malah bikin jadi posesif dan cenderung membuat dendam ketika disakiti. Mending jadi manusia yang biasa-biasa aja, yang normal, yang kadang bikin salah, tapi tetap punya hati, daripada jadi sosok yang serba sempurna tapi malah jadi kaya’ robot.

Photobucket - Video and Image Hosting



O ya, film The Stepford Wives ini sebelumnya udah pernah dibuat tahun 1975, dibintangi oleh Katherine Ross sebagai Joana, Peter Masterson sebagai Walter.

Photobucket - Video and Image Hosting


Dan cerita The Stepford Wives sendiri adalah adaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Ira Levin.

19.11.2006 (Part 2)

Photobucket - Video and Image Hosting

Setelah acara adat, kita siap-siap ganti baju adat Palembang untuk acara resepsi. Duh, yang aku bayangin, kepalaku bakalan terasa berat banget. Karena di kepala bakalan penuh dengan segala macem tusuk konde. Tapi.. ehem... dari dulu, dari sejak Ayuk nikah, aku selalu membayangkan one day aku juga akan pake busana yang sama, yang katanya adalah baju kebesaran kerajaan Palembang, makanya dinamain 'aesan gede'.
O ya, sebelum ganti baju, sempet foto-foto dulu pake baju akad nikah. Kata orang sih, aku mangling-in. Masa sihhh???? (Tersipu-sipu mode: On)
Lagi-lagi kata perias baju adatnya, aku pengantin yang penurut. Karena dipasangin segala macem tusuk konde yang berat dan beraneka ragam, aku diem aja. Abisnya, aku mikir, kenapa juga aku harus cerewet. Kata mama, jadi pengantin itu gak boleh cerewet. Jadi selama aku masih bisa napas dan tahan, aku nurut aja.
Di kamar rias, sempet 'rusuh' dan heboh karena Fayyaz 'ngamuk'. Lagi tidur enak-enak... eh.. dibangunin disuruh ganti baju. Jelas Fayyaz jadi bt banget.
Lalu, setelah semua siap, kita foto-foto dulu. Tamu-tamu udah semakin rame. Jam 11, acara dimulai. Kita 'diarak' dari depan pintu masuk ke gedung. Barisan pertama adalah pemain terbangan atau rebana. Lalu para penari. Lalu baru gue and Bagus. Di belakangnya baru rombongan keluarga.
Duh.. merinding banget waktu lagu 'Gending Sriwijaya' diputer. Kita jalan pelan-pelan menuju panggung. Setelah sampai di panggung, dilanjutkan yang namanya tarian 'Pagar Pengantin', ini adalah tarian terakhir dari seorang perempuan, tarian terima kasih, tarian 'perpisahan' dari lajang jadi seorang istri. Sebenernya gue dari dulu juga pengen banget bisa ikut nari, tapi gak ada waktu untuk latihan. Kata Nyai Reni, bergerak aja tangannya, kalo pengantin sih boleh gerak sesukanya. Tapi, guenya yang gak pe-de. Jadinya, gue cuma diem aja di atas nampan emas. Dan tarian itu lama banget, gue jadi rada bosen, yang ada gue senyam-senyum, cenderung cengar-cengir ke arah sodara-sodara gue. (Belakangan Myra bilang, tampang gue gak 'anggun' banget gara-gara cengar-cengir itu!)
Lalu, ya, standard deh.. acara seremonial resepsi: sambutan, baca doa and ucapan selamat dari tamu.
Dan Alhamdulillah, meskipun makin lama, beban di kepala gue semakin menyiksa, gue kuat sampai tamu terakhir. Dan, gue gak berasa laper, padahal pagi-pagi cuma makan roti sedikit. Gak berasa pusing. Entahlah, emang kata orang, kalo udah begitu, gak bakal berasa laper or haus.
Saking banyaknya orang, kadang gue gak ngeh kalo temen gue lewat. Baru setelah salaman gue sadar kalo itu temen gue. Apalagi kalo udah temen-temen yang udah lama banget gak ketemu, gue suka gak sadar. Udah gitu, karena gue pake contact lens, mata gue suka kabur, kalo gak cepet-cepet dikedip-kedip.
Setelah tamu-tamu bubar, tinggal sodara-sodara, kita berdua turun dari panggung. Makan dan ganti baju.
Acara berjalan lancar. Kata orang, makannya enak, dekorasinya bagus, musiknya yang piano tunggal juga bagus, gak berisik dan bikin pusing.
Lega banget... tinggal kita berdua yang pelan-pelan bikin rencana mau dibawa kemana rumah tangga kecil kita ini.

Sunday, December 10, 2006

19.11.2006 (Part 1)

Photobucket - Video and Image Hosting

Cerita ini emang terlambat banget. 3 minggu setelah hari H pernikahan gue dan bagus. Tapi, ya... gpp, lah, biar gue menyegarkan ingatan gue lagi. Biar gue bisa merasakan kebahagiaan dan gimana bersyukurnya gue, plus ketegangan menjelang hari H.
Hari itu, 19 November 2006, gue bangun (dibangunin tepatnya) jam 4 subuh. Heran, ternyata gue bisa tidur dengan nyenyaknya. Padahal telinga gue masih sedikit perih, karena baru 'ditindik' (lagi) dua hari sebelumnya dan waktu sebelum tidur, gue baru dipasang 'pacar' di kuku-kuku dan tangan gue. Menjelang tidur, 'pacar' itu belum terlalu kering. Jadi gue tidurnya rada gak nyaman. Takut gambarnya rusak. Bolak-balik tangan gue kena pipi, gue khawatir bakal nempel di pipi, karena bakalan susah ilang. Tapi, jam 10 malem, gue nge-cek ke kamar mandi, ternyata pipi gue 'aman' dan udah mulai agak kering. Jadi gue bisa tidur dengan nyaman dan nyenyak.
Tapi, pas pagi-pagi - gue dibangunin paling akhir - sementara orang udah pada mulai sibuk, gue masih ngantuk-ngantuk, ketemu sama tante gue yang langsung teriak, "Ya Allah, nempel di muka!" Gue langsung panik, dan buru-buru liat ke kamar mandi. Dan bener, di pipi gue, deket leher, kiri-kanan, 'tercetak' motif sulur-sulur, melingkar. Untung gak tebel, dan buru-buru gue gosok pake baby oil dan hasilnya lumayan. Bekasnya terlihat samar.
Setelah sholat subuh, jam 1/2 5, kita berangkat, konvoi menuju gedung. Mama-nya Mas Errik bilang, "Banyak-banyak istighfar." Dan dalam hati, gue langsung baca-baca doa yang gue tau. Jalan masih gelap. Banyak orang yang mulai keluar untuk olahraga pagi.

Photobucket - Video and Image Hosting


Sampai di gedung, orang-orang dari dekorasi lagi sibuk menata-nata. Gue langsung 'digiring' ke kamar rias. Perias datang sekitar jam 5. Dan mulailah proses rias-merias. Dengan pasrah, gue relakan alis 'kebanggaan' gue yang tebal 'dibabat' sampai tinggal separo. Hiks... yang jadi pikiran gue, gimana cara gue 'menggambar' alis sesudah ini?
Di dalam kamar rias, semua juga pada sibuk. Mulai dari make-up, 'nyanggul and pake kebaya. Belum lagi, Fayyaz yang heboh gak mau disuruh tidur.
Menurut Mas Ferry, sang perias, katanya gue termasuk pengantin yang penurut. Gak cerewet. Pasrah mukanya 'diobrak-abrik'.
Jam 7, katanya rombongan keluarga calon mempelai pria-nya udah dateng. Sementara rambut gue masih awut-awutan. Mama mulai senewen. Tapi, ternyata merias rambut lebih cepet dari pada make-up.
Jam 1/2 8, gue udah siap, lengkap dengan kebaya pengantin gue. Gue mungkin keliatan tenang, gue gak dag-dig-dug. Tapi... hmm.. apa ya.. susah diungkapkan apa yang ada di hati gue. Gue hanya bisa bolak-balik berdoa semoga semua lancar.
Jam 8, gue 'digiring' keluar dari ruang rias ke tempat akad nikah. Didampingi sama Ayuk Erly, Myra and Maya. Ayuk bilang, "Jalannya pelan-pelan. Nunduk sedikit." Sebelum keluar, gue berbisik, "Bismillahirrohmanirrohim." Ternyata, di luar semua udah siap. Bagus sudah 'menanti' di meja akad nikah. Gue didudukkan di samping dia.

Photobucket - Video and Image Hosting


Mulailah ritual akad nikah. Suasana tenang. Diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an oleh Pak Parli (yang sampai sekarang gue belum pernah ketemu orangnya, hanya denger suaranya aja).
Saat-saat mengharukan, adalah waktu gue minta ijin sama papa untuk menikah. Meskipun teksnya udah ada, tapi tetap, ada bagian-bagian di mana kalimat gue sempat tersendat.
Dan waktu pembacaan ijab-kabul, dalam hati gue bolak-balik berdoa, semoga Bagus bisa mengucapkannya dengan lancar. Dan begitu gue denger Bagus mengucapkannya dengan baik dan benar, tegas dan lancar, dan para saksi bilang, "Sah", gue langsung berucap, "Alhamdulillah."
Setelah acara ijab-kabul. Acara penyerahan mas kawin. Hehehe.. gue rada canggung nih. Pertama kalinya gue mencium tangan suami gue di depan umum, dan si pak penghulu kasih isyarat, "boleh cium kening", tapi gue langsung menghindar... malu.. hehehe..
Lalu, acara sujud sama orang tua. Gue hanya bisa memeluk mama dan papa lamaaa sekali dan bilang, "terima kasih".
Gue gak bisa menggambarkan apa yang gue rasakan setelah akad nikah, hanya dalam hati gue bertanya-tanya, "Jadi sekarang gue udah nikah? Gue udah punya suami?"
Setelah acara inti akad nikah, dilanjutkan sama sedikit acara adat Palembang. Kita berdua didudukin di kasur tipis berlapis songket yang namanya 'Papan Pasang'. Gue duduk di depan, Bagus di belakang. Gue liat Echi, Prili, Yorie and Alex. Gue hanya bisa senyam-senyum ngeliat mereka.
Mulailah acara suap-suapan. Suapan pertama dari mama,terus mamanya Bagus, dilanjutkan sama nenek-nenek. Susah banget pas mau minum, padahal 'seret' banget rasanya. O ya, yang di'suapin' itu adalah ketan kuninng-panggang ayam. simbol suapan 'terakhir' dari orang tua.
Lalu, berikutnya acara 'cacap-cacapan' - memercikkan air kembang setaman ke ubun-ubun pengantin. Kalo tadi Suap-suapan oleh ibu-ibu, Cacapan dilakukan oleh bapak-bapak.
Setelah itu, kita berdua 'digiring' ke kamar rias lagi untuk ganti pakaian adat palembang buat acara resepsi.
to be continued...

Sunday, December 03, 2006

[Book Review] Size 12 is Not Fat

Size 12 is not Fat: A Heather Wells Mystery
Meg Cabot
Pan Books, 2006
345 Hal.

Kalau melihat dari judulnya, pastinya bakal kepikir, “Ah, pasti standard deh… pasti tentang cewek gemuk mencari cinta.” Tapi, ternyata salah besar! Justru buku ber-cover baju merah ini malah berbau-bau misteri dan ‘membuka mata’ kalo cerita misteri gak harus bercover ‘menyeramkan’ dan kelam, tapi bisa juga nge-pop.

Tokoh utamanya, Heather Wells, adalah seorang mantan penyanyi remaja, ex-teen idol yang sempat ngetop banget dengan single ‘Sugar Rush’-nya. Tapi, dia didepak dari perusahaan rekamannya hanya karena pengen menyanyikan lagu karangannya sendiri dalam album terbarunya. Gak hanya itu kesialannya, tunangannya, Jordan Cartwright, selingkuh dengan penyanyi baru. Ibunya kabur dengan membawa semua tabungan Heather.

Heather berubah dari bintang remaja dengan segala keistimewaan menjadi perempuan yang bahkan tempat tinggal pun harus ‘numpang’. Beli baju berukuran 2 adalah mimpi, karena sekarang ukuran tubuh Heather ‘melar’ jadi ukuran 12, yang katanya adalah ukuran rata-rata wanita di Amerika.

Heather bekerja sebagai asisten direktur di New York College. New York College yang aman tiba-tiba dikejutkan dengan dua kematian siswinya dalam waktu yang berdekatan. Dua orang siswi ini ditemukan tewas setelah katanya ‘bermain-main’ dengan meluncur di atas lift. Padahal mereka berdua ini tergolong siswi yang kurang gaul dan gak ada tipe untuk main seperti itu.

Heather berusaha mencari bukti di balik misteri kematian itu, yang menurut dia bukanlah kecelakaan biasa. Dan ternyata bukti-bukti mengarah pada anak ‘petinggi’ New York College, Christopher Allington. Tapi, bukti itu tidak begitu saja diterima oleh polisi yang sempat meremehkannya.

Nah, bisa gak sih, Heather yang katanya hanya cewek ‘blonde’ biasa memecahkan misteri tersebut? Keterlibatan Heather malah hampir membuatnya menjadi salah satu korban.

Buku ini gak hanya asyik dibaca untuk penggemar chicklit. Penggemar cerita misteri, jangan ragu-ragu untuk ikutan baca.


06.12.04