[23.11.2006] – Bakpia Pathok 25, Keraton, Gudeg Wijilan, Kota Gede
Hari ini kita udah janjian sama Pak Katman yang akan ngaterin kita keliling Jogja .Ya… gak keliling banget sih… kasian aja, kalo pake becak. Rencananya hari ini mau liat Keraton Jogja, terus nyari Bakpia sama Gudeg.
Selesai sarapan, kira-kira jam 9, kita start dari hotel. Udara cerah, lumayan panas. Kata Pak Katman, sebaiknya ke tempat bakpia dulu, karena jalannya searah dengan Keraton. Kita sih terserah aja. Bakpia itu banyak banget nomernya, ada 25, 75, 41 atau berapa lagi. Dan kaya’nya setiap tukang becak punya ‘jagoan’ masing-masing. Waktu lagi jalan di malioboro, para tukang becak bilang, “Ayo, mbak, bakpia-bakpia, saya anter langsung ke pabriknya.”
Nah, ‘jagoan’nya pak katman ini kebetulan bakpia yang ‘direkomendasikan’ dari mama, yaitu Bakpia 25. Jadilah kita diantar langsung ke pabriknya. Di sepanjang jalan emang banyak toko-toko yang jual bakpia, tapi kata Pak Katman, “Saya antar langsung ke pabriknya.”
Tempat Bakpia 25 terletak masuk ke dalam gang. Halamannya lumayan luas. Begitu kita masuk ke dalam, banyak penganan yang dijual untuk oleh-oleh, gak hanya bakpia pathok yang khas Jogja, tapi ada juga Yangko yang di kotaknya tertulis makanan khas Kota Gede. Ada juga dijual dodol garut, brem medium. Bakpianya sendiri ada beraneka rasa, dari yang rasa asli kacang hijau, lalu ada kacang merah, keju, coklat, dan nanas. Kalo Yangko itu, gak ngerti juga terbuat dari apa, tapi ada yang rasa kacang, dan anek rasa lainnya. Kita sempet ngeliat proses pembuatan bakpia.
Setelah pesen untuk oleh-oleh. Kita berangkat lagi menuju Keraton Jogja. Di sana kita hampir dikenakan tiket untuk orang asing, yang harganya Rp. 12.500, tapi untuk turis local harganya Rp. 5.000 saja. Plus charge untuk bawa kamera.
Untuk keliling Keraton, kita harus diantar guide, katanya, banyak tempat-tempat yang gak boleh dimasukkin, jadi biar pengunjung gak salah, ya harus dianter.
Berasa belajar sejarah lagi. Kita mulai dari depan, kita ngeliat salah satu pendopo yang hancur karena gempa. Dan anehnya, itu satu-satunya bangunan yang ambruk, padalah satu pendopo lagi di seberangnya gak kenapa-kenapa.
Terus, diajak masuk ke tempat pameran barang-barang yang dipakai sultan-sultan sebelumnya, terutama Sultan HB IX, mulai dari pakaian sekolah, pakaian adat waktu sunatan, barang pecah-belah yang pernah dipakainya. Setiap sultan gak punya barang yang sama. Gue sempet naksir satu set toples warna biru, kesannya antik, klasik dan cantik.
Ada satu museum yang tergolong baru, yang isinya barang-barang seperti meja tulis, lencana-lencana yang pernah dipakai oleh Sultan HB IX. Kaca-kaca yang mengelilingi ruang itu juga katanya ada beberapa yang pecah karena gempa. Tiang-tiang disepuh dengan emas. Kesannya megah banget.
Selain itu ada ruangan yang isinya cindera mata dari negara-negara sahabat yang juga berasal dari sultan-sultan sebelumnya. Mulai dari lampu, vas, tempat lilin, berbagai macam keramik yang bagus-bagus banget. Dan anehnya, waktu gempa, gak ada satu pun yang rusak, hanyak dinding-dindingnya yang retak. Hmmm…
Lalu, ada ruang lukisan. Di dalam ruang ini, ada satu lukisan Sultan HB VII atau VIII ya, lupa… yang dilukis Raden Saleh dan bentuk 3 dimensi. Jadi kemana pun kita bergerak, lukisan itu seolah menghadap tempat kita berdiri. Di dalam ruangan ini, cukup bikin gue merinding…
Kunjungan kita berakhir di ruang batik. Di Museum Batik ini, gak boleh foto, karena katanya menyangkut hak cipta.
Lumayan lama juga kita di Keraton. Menurut pemandunya tadi, sejak gempa, Keraton ini tergolong sepi. Pas barengan kita, ada rombongan anak-anak dari Jakarta yang lagi study tour dan beberap turis asing.
Perjalanan dilanjutkan dengan mencari tempat gudeg. Katanya di daerah Wijilan. Di terowongan menuju WIjilan ada tulisan, “Selamat Datang di SENTRA MAKANAN KHAS GUDEG”. Ternyata di sepanjang jalan itu, berderet yang jualan gudeg dengan berbagai macam merk: Gudeg Bu Lies, Bu Widodo – dan yang kita tuju, yang direkomendasikan dari Jakarta, adalah Gudeg Yu Djum. Kita makan siang, lesehan, di sana. Isinya, gudeg lengkap. Rasa gudeg-nya emang lebih enak dibanding yang ada di seberang hotel kita. Krecek-nya lebih terasa, lebih pedas. Dan porsinya pas, gak bikin ‘eneg’. Harganya juga sedikit lebih murah dibanding yang kemarin kita makan.
Jalan Wijilan - Sentra Makanan Khas Gudeg
Setelah makan, rada malas bergerak lagi. Soalnya panas banget. Tapi, masa’ mau balik ke hotel. Sayang banget kan. Akhirnya, kita menuju Kota Gede. Perjalanan ke Kota Gede cukup jauh ternyata. Dan kita berhenti di salah satu toko, Ansor Silver. Dan milih-milih perak untuk oleh-oleh.
Miniatur Candi Borobudur dari Perak
Dalam perjalanan pulang yang jauh banget itu, kita sempet ketiduran di becak. Sampe hotel jam 3an. Lalu, kita istirahat.
Malamya, kita ke Malioboro lagi. Masih harus cari oleh-oleh lagi. Kita beli berapa t-shirt lagi. Dan malam itu, Jogja diguyur hujam yang lumayan deras. Batal rencana kita untuk makan lesehan di Malioboro. Akhirnya, kita makan… Kentucky lagi!
Setelah hujan reda, kita pulang. Tapi, ternyata, hujan yang lumayan deras turun lagi. Akhirnya, kita kebasahan di becak.
Sampai hotel, lumayan teler, karena perjalanan kita yang ‘panjang’ hari ini.
Labels: vacation
0 Comments:
Post a Comment
<< Home