[Cuma Cerita Pendek] Ketika Anton Tersenyum
Anton masih duduk di lantai kamarnya yang dingin. Di tangan kirinya, terkulai seutas tali yang sudah disimpul longgar ujungnya. Ada sebuah bangku yang berada di tengah-tengah kamarnya, tepat di bawah sebuah palang yang melintang di langit-langit kamarnya. Tak hanya itu yang ada di kamarnya. Ada sebotol obat pembasmi serangga, ada pisau dapur yang berkilau dan tampak tajam sekali. Asap rokok mengepul di ruangan itu. Puntung rokok bertebaran, kelihatan habis dilempar asal-asalan.
Mata Anton tampak kosong. Di sebelah kanannya, ada sehelai kertas kosong dan sebuah pulpen. Berkali-kali ia mendesahkan napas. Ingin membuang beban yang memberati hatinya. Tapi, tetap tak kunjung ringan.
Suara kecil terdengar di sebelah kirinya, “Anton, tunggu apa lagi. Kamu tinggal pilih benda mana yang akan kamu gunakan untuk mengakhiri hidup kamu di dunia ini.”
Anton tetap terdiam. Matanya bergerak, menelusuri benda-benda berbahaya yang bertebaran di sekitarnya. Dilepaskan tali yang sedari tadi dipegangnya, kemudian ia meraih botol obat pembasmi serangga. Diangkatnya botol itu sejajar dengan matanya. Lama dipandanginya botol itu. Senyum tipis dan sinis sekilas terbentuk dari bibirnya.
Matanya bergerak, menoleh ke arah sebuah foto di samping tempat tidurnya. Diraihnya foto itu. Ia tersenyum lagi, kali ini senyum pasrah. “Andjani” bisiknya dalam hati.
Ingatannya terbang ke kejadian seminggu yang lalu. Ketika Andjani membawa sebuah berita. Harusnya itu menjadi berita bahagia, tapi ternyata tidak bagi Anton.
“Aku hamil, Anton,” Andjani mengabarkan berita itu. Binar bahagia tampak di matanya. Anton hanya mematung, menatap Andjani tanpa tahu harus bereaksi apa. Harusnya ia juga bahagia, harusnya ia memeluk Andjani, harusnya ia mencium Andjani. Tapi, ia hanya diam. Sampai akhirnya Andjani marah karena reaksi yang tidak seharusnya itu.
“Kenapa sepertinya kamu tidak bahagia, Ton?” Andjani cemberut. Ia merajuk. Reaksinya yang wajar dari seorang wanita yang diperlakukan seperti itu. Reaksi Anton yang tidak wajar.
Anton tergagap menjawab pertanyaan Andjani, “A..a..aku hanya kaget, Djani.” Kemudian ia tersenyum… senyum yang dipaksakan. “Selamat, Sayang.” Anton memeluk Andjani. Tapi, di hatinya, ada gundah…
Tapi, binar bahagia itu pun tidak bertahan lama di mata Andjani. Ia pun berbisik lirih dalam pelukan Anton, “Lalu, kita harus gimana, Ton? Kita harus bilang apa sama orang tua kita?”
Anton mengelus kepala Andjani. Ada rasa sayang yang besar di hatinya. Sebentar Anton terdiam, lalu hanya bisa menjawab, “Aku tidak tahu, Djani… Aku tidak tahu.”
“Apa yang harus kita lakukan dengan janin ini?” Andjani lalu menarik diri dari pelukan Anton dan menatap Anton tajam, sambil berkata, “Apa harus kita gugurkan?”
Anton menatap Andjani kaget dan setengah berteriak, “Jangan, Djani. Itu anak kita.”
“Tapi…’”
Tak sempat Andjani menyelesaikan kata-katanya, Anton meletakkan telunjuknya di bibir tipis Andjani. “Ssstt… biar aku yang memikirkan semua itu, Djani.” Anton meraih Andjani, kembali dalam pelukannya, “Biar aku yang mengurus semuanya.”
Dan malam ini… di dalam kamarnya… Anton sendirian. Hatinya tidak tenang, pikirannya kacau. Berperang dengan berbagai keinginan dan resiko yang bakal ditanggungnya.
“Jika aku memilih menikahi Andjani, Mama pasti akan sangat kecewa. Mama tidak suka dengan Andjani. Dan aku tahu Mama sudah berniat menjodohkanku dengan Mariska. Hehehe… seksi juga sih dia…”
Anton tersenyum sejenak… senyuman nakal…
“Jika aku memilihi menuruti keinginan Mama, aku takut Andjani bakal menuntut macam-macam. Huh.. uang dari mana juga aku harus membiayai anak itu nanti. Selama ini kan, aku masih minta sama Mama.”
Senyumnya hilang…
“Sebenarnya aku sayang dan mencintai Andjani. Apa yang pernah kulakukan bersamanya bukan hanya nafsu belaka, tapi karena cinta.”
Tatapan matanya menjadi sendu… ada rindu di hatinya.
Sementara itu, salah satu tangannya memain-mainkan pisau. Anton mengangkat pisau itu hingga sejajar dengan matanya. Tampak pantulan matanya di pisau itu. Mata yang letih, mata yang suram, mata yang bingung… Lama dipandangnya matanya sendiri. Tiba-tiba… ada matanya berbinar. Seperti ada kilatan yang berbeda dengan mata yang terpantul dari pisau itu sebelumnya. Jika pisau itu digeser ke bawah sedikit, akan terlihat pantulan bibir yang sedang tersenyum… menyeringai tepatnya…
Cepat-cepat diletakkannya pisau itu. Ia meraih botol obat pembasmi serangga dan melirik sekilas ke arah jam yang tergantung di dinding kamarnya. “Hampir jam 9. Waktu yang sempurna!”
Ia berdiri. Agak limbung. Sudah sejak kemarin ia hanya duduk saja di dalam kamarnya. Ketika ia berdiri, ia harus diam sejenak untuk menghilangkan kunang-kunang di matanya.
Lalu ia keluar kamar. Sunyi. Semua penghuni rumah ini – Mama, Kezia, adiknya, Mbok Nah – sudah masuk ke kamar masing-masing. Hanya terdengar suara televisi dari masing-masing kamar. Terdengar suara gemericik air, tanda Mang Jum sedang mencuci mobil. “Tuan Putri Kezia pasti baru pulang kantor,” Pikir Anton sambil tersenyum sinis.
Anton berjalan menuju kamar Mamanya. Sejak kemarin Mama mengetuk pintu kamar Anton. Anton anak kesayangan sang Mama, wajar kalau Mamanya begitu khawatir dengan perubahan sikap anak laki-laki satu-satunya itu.
Tok… tok… tok…
Anton mengetuk pintu kamar Mamanya.
“Siapa?” terdengar suara dari dalam.
“Anton, Ma.”
Terdengar suara langkah tergesa-gesa, dan kunci pintu dibuka tidak sabaran.
“Anton… masuk, Nak.” Mamanya menarik tangannya dan menatap Anton dengan prihatin. “Kenapa kamu, Sayang?” Anton masih terdiam, ia membiarkan dirinya dibimbing Mamanya duduk di tempat tidur.
Akhirnya, sebelum bicara, Anton menghela napas. “Ma, Anton mau bicara.”
“Bicaralah, Sayang? Ada apa? Mama khawatir melihat kamu dua hari ini.”
“Ma’afin Anton, Ma.” Anton memegang tangan Mamanya lalu menciumnya. Anton pun tersungkur di kaki Mamanya. Mama Anton membelai kepala anaknya dengan penuh kasih. Anton menengadah, tersenyum. Entah apa arti senyuman itu.
Anton lalu berdiri lagi, menuju sebuah lemari, tempat di mana obat-obat Mamanya berjajar rapi. Lalu ia bertanya, “Mama sudah minum obat?”. Mama Anton menjawab dengan bingung, “Belum, Sayang.” Lalu terdiam sebelum melanjutkan, “Ayo lah, Sayang, ada apa? Perasaan Mama jadi gak enak.”
Anton terlihat sibuk berkutat di depan lemari. Ia sedang meracik obat untuk sang Mama. Dituangnya air ke dalam gelas, lalu ia mengaduk-aduk air itu. Sambil membelakangi Mamanya, ia berkata, “Ma, Anton mau minta ijin menikahi Andjani.”
“Apa?”
Belum habis rasa terkejut Mamanya, Anton melanjutkan, “Andjani hamil. Anakku.”
Mama Anton tampak semakin terkejut. Ia tidak bisa menguasai dirinya. Ia hanya bisa megap-megap dan berkata terbata-bata, “A… a… pa… mak…mak..ssssuddd… kaaaa… mm…mmuu?”
Anton hanya tersenyum, seraya menyerahkan air minum ke Mamanya. Ia hanya berkata, “Mama, minum dulu biar tenang.” Ia membantu Mamanya minum. Anton tetap tersenyum… tenang sekali…
Tiba-tiba, Mama Anton bukannya lebih tenang, malah semakin megap-megap. Pandangannya mengabur, ia hanya bisa melihat Anton tersenyum samar, sebelum terkulai… tak bernapas lagi…
Anton tetap tersenyum, “Ma’afkan Anton, Ma. Anton memberi minum campuran obat dan racun. Mama selama ini baik sama Anton. Tapi, Anton cinta Andjani. Anton gak punya uang banyak. Mama udah cukup lama menikmati dunia ini, sekarang giliran Anton, Ma. Warisan Mama mungkin cukup untuk membiayai hidup kami. Sekarang Mama tenang aja, ya… Gak perlu mikirin Anton lagi… Gak perlu marah lagi sama Anton dan Andjani…”
Anton mengelus tangan Mamanya sekilas, sebelum keluar dan menutup pintu dengan tenang, lalu kembali ke kamarnya.
Anton masih tersenyum…
06.02.01
Mata Anton tampak kosong. Di sebelah kanannya, ada sehelai kertas kosong dan sebuah pulpen. Berkali-kali ia mendesahkan napas. Ingin membuang beban yang memberati hatinya. Tapi, tetap tak kunjung ringan.
Suara kecil terdengar di sebelah kirinya, “Anton, tunggu apa lagi. Kamu tinggal pilih benda mana yang akan kamu gunakan untuk mengakhiri hidup kamu di dunia ini.”
Anton tetap terdiam. Matanya bergerak, menelusuri benda-benda berbahaya yang bertebaran di sekitarnya. Dilepaskan tali yang sedari tadi dipegangnya, kemudian ia meraih botol obat pembasmi serangga. Diangkatnya botol itu sejajar dengan matanya. Lama dipandanginya botol itu. Senyum tipis dan sinis sekilas terbentuk dari bibirnya.
Matanya bergerak, menoleh ke arah sebuah foto di samping tempat tidurnya. Diraihnya foto itu. Ia tersenyum lagi, kali ini senyum pasrah. “Andjani” bisiknya dalam hati.
Ingatannya terbang ke kejadian seminggu yang lalu. Ketika Andjani membawa sebuah berita. Harusnya itu menjadi berita bahagia, tapi ternyata tidak bagi Anton.
“Aku hamil, Anton,” Andjani mengabarkan berita itu. Binar bahagia tampak di matanya. Anton hanya mematung, menatap Andjani tanpa tahu harus bereaksi apa. Harusnya ia juga bahagia, harusnya ia memeluk Andjani, harusnya ia mencium Andjani. Tapi, ia hanya diam. Sampai akhirnya Andjani marah karena reaksi yang tidak seharusnya itu.
“Kenapa sepertinya kamu tidak bahagia, Ton?” Andjani cemberut. Ia merajuk. Reaksinya yang wajar dari seorang wanita yang diperlakukan seperti itu. Reaksi Anton yang tidak wajar.
Anton tergagap menjawab pertanyaan Andjani, “A..a..aku hanya kaget, Djani.” Kemudian ia tersenyum… senyum yang dipaksakan. “Selamat, Sayang.” Anton memeluk Andjani. Tapi, di hatinya, ada gundah…
Tapi, binar bahagia itu pun tidak bertahan lama di mata Andjani. Ia pun berbisik lirih dalam pelukan Anton, “Lalu, kita harus gimana, Ton? Kita harus bilang apa sama orang tua kita?”
Anton mengelus kepala Andjani. Ada rasa sayang yang besar di hatinya. Sebentar Anton terdiam, lalu hanya bisa menjawab, “Aku tidak tahu, Djani… Aku tidak tahu.”
“Apa yang harus kita lakukan dengan janin ini?” Andjani lalu menarik diri dari pelukan Anton dan menatap Anton tajam, sambil berkata, “Apa harus kita gugurkan?”
Anton menatap Andjani kaget dan setengah berteriak, “Jangan, Djani. Itu anak kita.”
“Tapi…’”
Tak sempat Andjani menyelesaikan kata-katanya, Anton meletakkan telunjuknya di bibir tipis Andjani. “Ssstt… biar aku yang memikirkan semua itu, Djani.” Anton meraih Andjani, kembali dalam pelukannya, “Biar aku yang mengurus semuanya.”
Dan malam ini… di dalam kamarnya… Anton sendirian. Hatinya tidak tenang, pikirannya kacau. Berperang dengan berbagai keinginan dan resiko yang bakal ditanggungnya.
“Jika aku memilih menikahi Andjani, Mama pasti akan sangat kecewa. Mama tidak suka dengan Andjani. Dan aku tahu Mama sudah berniat menjodohkanku dengan Mariska. Hehehe… seksi juga sih dia…”
Anton tersenyum sejenak… senyuman nakal…
“Jika aku memilihi menuruti keinginan Mama, aku takut Andjani bakal menuntut macam-macam. Huh.. uang dari mana juga aku harus membiayai anak itu nanti. Selama ini kan, aku masih minta sama Mama.”
Senyumnya hilang…
“Sebenarnya aku sayang dan mencintai Andjani. Apa yang pernah kulakukan bersamanya bukan hanya nafsu belaka, tapi karena cinta.”
Tatapan matanya menjadi sendu… ada rindu di hatinya.
Sementara itu, salah satu tangannya memain-mainkan pisau. Anton mengangkat pisau itu hingga sejajar dengan matanya. Tampak pantulan matanya di pisau itu. Mata yang letih, mata yang suram, mata yang bingung… Lama dipandangnya matanya sendiri. Tiba-tiba… ada matanya berbinar. Seperti ada kilatan yang berbeda dengan mata yang terpantul dari pisau itu sebelumnya. Jika pisau itu digeser ke bawah sedikit, akan terlihat pantulan bibir yang sedang tersenyum… menyeringai tepatnya…
Cepat-cepat diletakkannya pisau itu. Ia meraih botol obat pembasmi serangga dan melirik sekilas ke arah jam yang tergantung di dinding kamarnya. “Hampir jam 9. Waktu yang sempurna!”
Ia berdiri. Agak limbung. Sudah sejak kemarin ia hanya duduk saja di dalam kamarnya. Ketika ia berdiri, ia harus diam sejenak untuk menghilangkan kunang-kunang di matanya.
Lalu ia keluar kamar. Sunyi. Semua penghuni rumah ini – Mama, Kezia, adiknya, Mbok Nah – sudah masuk ke kamar masing-masing. Hanya terdengar suara televisi dari masing-masing kamar. Terdengar suara gemericik air, tanda Mang Jum sedang mencuci mobil. “Tuan Putri Kezia pasti baru pulang kantor,” Pikir Anton sambil tersenyum sinis.
Anton berjalan menuju kamar Mamanya. Sejak kemarin Mama mengetuk pintu kamar Anton. Anton anak kesayangan sang Mama, wajar kalau Mamanya begitu khawatir dengan perubahan sikap anak laki-laki satu-satunya itu.
Tok… tok… tok…
Anton mengetuk pintu kamar Mamanya.
“Siapa?” terdengar suara dari dalam.
“Anton, Ma.”
Terdengar suara langkah tergesa-gesa, dan kunci pintu dibuka tidak sabaran.
“Anton… masuk, Nak.” Mamanya menarik tangannya dan menatap Anton dengan prihatin. “Kenapa kamu, Sayang?” Anton masih terdiam, ia membiarkan dirinya dibimbing Mamanya duduk di tempat tidur.
Akhirnya, sebelum bicara, Anton menghela napas. “Ma, Anton mau bicara.”
“Bicaralah, Sayang? Ada apa? Mama khawatir melihat kamu dua hari ini.”
“Ma’afin Anton, Ma.” Anton memegang tangan Mamanya lalu menciumnya. Anton pun tersungkur di kaki Mamanya. Mama Anton membelai kepala anaknya dengan penuh kasih. Anton menengadah, tersenyum. Entah apa arti senyuman itu.
Anton lalu berdiri lagi, menuju sebuah lemari, tempat di mana obat-obat Mamanya berjajar rapi. Lalu ia bertanya, “Mama sudah minum obat?”. Mama Anton menjawab dengan bingung, “Belum, Sayang.” Lalu terdiam sebelum melanjutkan, “Ayo lah, Sayang, ada apa? Perasaan Mama jadi gak enak.”
Anton terlihat sibuk berkutat di depan lemari. Ia sedang meracik obat untuk sang Mama. Dituangnya air ke dalam gelas, lalu ia mengaduk-aduk air itu. Sambil membelakangi Mamanya, ia berkata, “Ma, Anton mau minta ijin menikahi Andjani.”
“Apa?”
Belum habis rasa terkejut Mamanya, Anton melanjutkan, “Andjani hamil. Anakku.”
Mama Anton tampak semakin terkejut. Ia tidak bisa menguasai dirinya. Ia hanya bisa megap-megap dan berkata terbata-bata, “A… a… pa… mak…mak..ssssuddd… kaaaa… mm…mmuu?”
Anton hanya tersenyum, seraya menyerahkan air minum ke Mamanya. Ia hanya berkata, “Mama, minum dulu biar tenang.” Ia membantu Mamanya minum. Anton tetap tersenyum… tenang sekali…
Tiba-tiba, Mama Anton bukannya lebih tenang, malah semakin megap-megap. Pandangannya mengabur, ia hanya bisa melihat Anton tersenyum samar, sebelum terkulai… tak bernapas lagi…
Anton tetap tersenyum, “Ma’afkan Anton, Ma. Anton memberi minum campuran obat dan racun. Mama selama ini baik sama Anton. Tapi, Anton cinta Andjani. Anton gak punya uang banyak. Mama udah cukup lama menikmati dunia ini, sekarang giliran Anton, Ma. Warisan Mama mungkin cukup untuk membiayai hidup kami. Sekarang Mama tenang aja, ya… Gak perlu mikirin Anton lagi… Gak perlu marah lagi sama Anton dan Andjani…”
Anton mengelus tangan Mamanya sekilas, sebelum keluar dan menutup pintu dengan tenang, lalu kembali ke kamarnya.
Anton masih tersenyum…
06.02.01
1 Comments:
At 11:29 PM, dahlia said…
emang..yang namanya ANTON itu
sedari kmaren, emang harus diberantas
walaaah napa jadi mara marah, ngak jelas gini ya...
Post a Comment
<< Home