ceritaceritaku

my stories... my dreams... my imaginations....

Daisypath Ticker

Friday, February 17, 2006

[28 Hari Penuh Cerita Cinta] Aku Bukan Untukmu

Aku menyesal t’lah membuatmu menangis
Dan biarkan memilih yang lain
Tapi jangan pernah kamu dustai hatimu
Mungkin ini terbaik untukmu

Janganlah lagi kau mengingatku kembali
Aku bukanlah untukmu
Meskiku memohon dan meminta hatimu
Jangan pernah tinggalkan dirinya
Untuk diriku

(Aku Bukan Untukmu – Rossa)

Kulihat kamu bersama dirinya… Begitu mesra. Kamu dan dia. Kamu dan dia sedang asyik memilih buku berdua. Dulu kamu juga begitu. Dulu kita juga begitu, kan? Kamu tahu aku suka sekali membaca. Aku minta kamu membantuku memilihkan buku. Bahkan tak jarang kamu memberiku kejutan, tiba-tiba datang membawa buku yang aku idam-idamkan.

Kamu yang memperkenalkan aku pada tulisan seorang Pramoedya Ananta Toer. Kamu bilang, “Jangan baca buku yang nge-pop terus, dong.”

Dan hari ini… aku melihat kamu. Kamu dan dia. Sambil kamu rangkul dia. Kamu dan dia tertawa. Kamu mengacak-acak rambutnya. Tatapan mata kamu… sayaaangggg sekali tampaknya.

Kamu dan dia. Kamu dan dia berpindah-pindah dari satu rak buku ke satu rak buku lainnya. Sama seperti mataku. Mataku juga berpindah-pindah, mengikuti gerak kamu dan dia.

Kamu dan dia. Dulu… aku yang mengenalkan kamu dengan dia. Dia adalah teman kuliahku. Entah kenapa, ketika pertama kali kamu berjabat tangan dengannya, aku tahu akan ada sesuatu di antara kamu dan dia. Ada perasaan, dia akan jadi orang yang spesial buat kamu. Tapi… dulu… aku adalah seseorang yang spesial untuk kamu… Dulu…

Dulu… sebelum aku melakukan kebodohan, sebelum aku melakukan ketololan, sebelum aku menyadari betapa kamu adalah yang terbaik untukku.

Dan hari ini… ketika aku melihat kamu. Kamu dan dia. Aku hanya bisa tersenyum… senyuman di hati yang kecewa… senyuman di hati yang penuh penyesalan.

Kamu memang tidak seperti bayanganku akan seorang pasangan. Aku ingin kamu romantis… tapi kamu tidak bisa, kamu bilang, “Aneh ah.” Aku ingin kamu memanggil aku ‘sayang’, menyebut aku bukan dengan ‘loe-gue’, tapi dengan ‘aku-kamu’, tapi lagi-lagi kamu bilang, “Aneh. Kaku.”

Lalu, kamu pergi. Kamu meninggalkan aku. Kamu pergi ke luar negeri, ke negeri Bunga Tulip, mengejar cita-cita kamu.

Dalam kenangan yang samar-samar, aku sendiri di sini.

Tadinya aku ingin setia. Aku ingin kamu melihat aku berdiri di tempat yang ketika aku mengantar kamu.

Tapi…

Suatu hari, dengan bodoh, aku tergoda kata-kata manis dari laki-laki lain. Kata-kata manis, sikap manis dan romantis yang dulu aku harapkan dari kamu, tapi tidak pernah kamu berikan. Tidak pernah kamu tunjukkan. “Malu,” begitu kata kamu dulu.

Aku tergoda… aku terbuai… aku lupa kamu… aku lupa janji setiaku… aku lupa semua…

Hanya dia… dia yang selalu aku ingat… Dia… tiba-tiba menjadi tempat tujuanku bermimpi… tempat kuingin melabuhkan angan-anganku…

Kulupakan kamu… Kutepis kamu… Kubilang aku ingin pisah… Aku bilang aku ingin kita jalan sendiri-sendiri… Kulakukan ini demi bersama pujaanku yang baru…

Kamu kecewa… kamu begitu marah. Tapi… itulah kamu. Sebesar apa pun kamu marah, kamu tidak pernah menunjukkan emosi kamu. Semua kamu simpan sendiri. Kamu merelakan aku pergi…

Tak perlu menunggu lama bagiku untuk menyesali keputusanku. Ternyata pujaan baruku tak seindah di awal. Ternyata kata-kata manisnya hanya di permukaan saja. Hanya di ujung bibirnya saja. Ketika kucoba menyelami hatinya, yang kudapat hanya lautan hitam yang penuh amarah dan emosi.

Aku takut… aku menyesal… Aku ingin pergi… Aku ingin lari… Menghilang..

Kucoba mencari kamu lagi. Kucoba menemukan kamu lagi.

Tapi… apa yang kutemui ketika aku menemukan kamu. Kamu kaget… kamu terkejut… dan, kamu begitu berubah. Kamu jadi dingin, dan semakin kaku. Kamu malah marah padaku. Aku merasa ada penolakan dalam diri kamu. Kamu seolah hendak berkata, “Jangan ganggu aku lagi!”

Kamu bilang, “Untuk apa kamu cari aku lagi? Dulu aku memohon dan berharap agar kamu kembali. Tapi, kamu malah berkeras untuk putus.”

Aku terdiam… kata-katanya benar.

Kamu melanjutkan, “Lalu, sekarang kamu datang lagi. Mencoba memintaku lagi, berharap balik lagi seperti dulu. Aku sudah terlanjur sakit. Kamu tahu itu? Sakit…”

Aku masih terdiam…

Kata kamu lagi, “Kamu egois. Di saat kamu mulai merasa kehilangan, kamu mencari aku. Seolah mau kasih harapan.” Kamu terdiam sejenak, menghela napas, lalu berkata lagi, “Tapi, saat aku coba meraih harapan itu, kamu tidak berani mewujudkannya. Aku seolah kamu permainkan. Dan sekarang kamu datang lagi. Aku rasa, kesempatan kamu sudah tidak ada.”

Aku mulai bicara, bahwa kamu memang benar. Aku tidak akan pernah menyadari bahwa kamu begitu berarti, sampai akhirnya aku baru merasa kehilangan. Kamu jadi begitu berarti untukku.

Dan hari ini… ketika aku lihat kamu dan dia, aku hanya bisa menyesal. Kamu dan dia begitu bahagia.

Aku hanya mencoba mencari sebuah harapan…

06.02.04 – 03:46 PM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home