[CumaCeritaPendek] Katakan Cintamu…
“Ayo dong, Dion, kita daftar ikutan ‘Katakan Cinta’,” rengek Kendra dengan manja.
Dion menatapnya lalu berkata dengan nada segan, “Mau ngapain sih ikut acara begituan? Mau numpang ngetop?”
Kendra cemberut, keningnya berkerut. Sebal mendengar perkataan Dion. “Kenapa sih, dari tadi kamu nyela aku terus? Kalo kamu gak mau ikutan, ya udah… aku tinggal cari cowok lain yang bersedia,” ancam Kendra.
Dion ingin tersenyum melihat tingkah Kendra yang manja, tapi ditahannya, takut gadisnya itu ngamuk lagi. “Aku tuh cuma tanya, kenapa juga kita harus ikut acara itu. Kita kan udah jadian, gak perlu lagi acara ‘tembak-menembak’ kaya’ gitu.”
Masih manyun, Kendra menjawab, “Ya, iya sih.. salah satunya biar ngetop gitu, deh. Tapi, yang penting kan hadiahnya, Honey. Lumayan lho, kalo terpilih jadi ‘Pejuang Favorit’.”
Dion mendengar ocehan Kendra dengan setengah hati.
“Perbedaan ‘kasta’,” begitu kata Dion dalam hati, setiap dia berusaha mengerti sikap Kendra. Bukan karena masalah status keuangan, tapi karena perbedaan umur yang cukup jauh. Dion adalah mahasiswa tingkat dua. Bisa dibilang lumayan ganteng dan menjadi incaran mahasiswi di kampusnya. Itu yang membuat sikap Kendra jadi cemburuan dan manja. Sementara itu, Kendra sendiri masih duduk di kelas 2 SMU.
“Dioonnn… kamu dengerin aku gak sih?” teriak Kendra, sambil mencubit lengan Dion.
Dion kaget, tersadar dari lamunannya. Gelagapan Dion menjawab, “Eh…ehh… iya. Jadi gimana, Sayang?”
Pertanyaan Dion disambut dengan rajukan Kendra, “Hu-uh… dari tadi aku ngoceh, ternyata dicuekin aja sama kamu!”
“Ahhh…” Dion mendesah dalam hati, lalu menjawab, “Aku bukan gak denger, cuma masih sedikit belum ngerti.”
“Kamu setuju gak kita ikutan acara itu?”
“Buat apa sih, Ke? Dan gimana caranya?”
“Gampang… kita kan tinggal pura-pura aja. Aku udah pikirin semua skenarionya.”
“Terus, gimana daftarnya?”
“Itu gampang juga, kebetulan papa Manda, kerja di rumah produksi acara itu.”
Dion menjawab sambil menggaruk kepalanya, “Kamu atur aja deh, nanti aku tinggal ikutin aja skenario kamu itu.”
Kendra tersenyum lebar, “Kemenangan ada di pihakku.” Saking senangnya, buru-buru dia memeluk Dion sambil berseru, “Nahhh… gitu dong, Sayang!”
Selama seminggu, tiada hari tanpa pembicaraan tentang acara ‘Katakan Cinta’. Dion sampai bosan mendengarnya. Sementara Kendra tetap antusias.
“Sayang, aku udah daftarin kita berdua lho. Aku udah kasih foto kita. Rencananya…” Kendra membuka lembaran buka hariannya yang warna-warni itu, “Rencananya kita…”
Ketika tahu Dion tidak bereaksi, Kendra menarik komik Detektif Conan yang sedang dibaca Dion.
“Aduh, Ke…!” kata Dion gusar, “Kamu kan liat aku lagi baca!”
“Kamu juga tahu aku lagi cerita kan?” balas Kendra tak kalah galak.
“Aku tahu… aku dengar.. Kamu lagi membahas usul kamu yang konyol itu!”
“Oooo… jadi gitu… sekarang kamu bilang konyol. Katanya kamu kan udah setuju, Di.”
Kendra mulai cemberut, sebentar lagi matanya berkaca-kaca, menahan kecewa dan minta diperhatikan.
“Ya, kejadian lagi deh. Gini nih, kalau pacaran sama anak SMU.” Meski mengeluh, ada rasa sesal dalam hati Dion sudah membuat Kendra merajuk. “Ma’af ya, Ke… tapi sikap kamu yang berlebihan bikin aku jadi senewen.”
Kendra diam, menunggu Dion membujuknya lagi. Dan Dion tahu, dia harus terus membujuk Kendra biar tidak keterusan ngambeknya. “Kamu cerita lagi, deh Ke… pelan-pelan, biar aku lebih ngerti… “
Dengan gaya masih sok ngamek, Kendra bercerita, “Jadi, menurut skenario yang aku udah bikin, ceritanya kita tuh udah putus, tapi kamu masih sayang sama aku…”
“Masih sayang? Gak perlu skenario yang aneh, memang aku masih sayang sama kamu kan, Ke?” Dion memotong cerita Kendra.
“Duhhh… Dionnn…!” Kendra setengah berteriak kesal, “Denger dulu sampai selesai, dong!”
“Ok…ok… lanjut deh.” Dion terkikik melihat Kendra marah-marah.
“Terus, kamu tuh pengen balik lagi sama aku. Jadilah, kamu minta bantuan Tesha untuk ngajak aku ke tempat kita jadian.”
“Ngapain kita harus ngajak Tesha?” tanya Dion menyebut nama adiknya yang juga sahabat Kendra itu.
“Ya, iya dong… kamu perlu perantara untuk ngajak aku ke sana. Aku masih sedih karena putus sama kamu dan kamu mau bikin surprise buat aku.”
Dion manggut-manggut mendengar penuturan Kendra.
Kendra masih terus bicara, “Lalu…. di Amazon Café itu, kamu udah nyiapin acara makan malam yang romantiissss banget. Candle light dinner,” Kendra berkata sambil tersenyum-senyum sendiri, “Nanti, ceritanya aku, kaget ngeliat kamu di sana… terus… kamu bilang deh, gimana perasaan kamu sama aku…. Kamu bilang, kalo pengen balik lagi sama aku.” Kendra tersenyum puas menutup penjelasannya. “Gimana? Ok kan, Sayang?” tanya Kendra.
Dion takjub mendengar rencana Kendra. “Gila….” Hanya itu yang keluar dari mulut Dion.
“Koq gila sih? Aku yang gila atau rencananya yang gila?”
“Dua-duanya…” Melihat Kendra siap-siap melancarkan aksi manyunnya, Dion buru-buru meralat, “Ups.. bukan gitu, Ke… Rencana kamu hebat koq…” Lalu, Dion bertanya dengan gaya sok serius, “Tapi, kenapa harus aku yang ngajak kamu balik? Kenapa gak ceritanya kamu yang masih sayang banget sama aku?”
“Ihhh… gengsi dong… Emang aku cewek apaan?”
“Kan gak pa-pa, Ke?”
“Gak mau ah… Kesannya aku yang pengen banget balik sama kamu. Gengsi dong…”
“Lho.. Emansipasi dong, Sayang…. Lagian nih, kalo ‘pejuang’nya itu cewek, orang-orang bakal lebih gampang jatuh hati, kasihan sama kamu. Peluang kamu jadi ‘Pejuang Favorit’ jadi lebih besar.”
Kendra diam, terlihat berpikir, lalu manggut-manggut, “Iya juga ya…” Lalu, dia menggamit tangan Dion, “Kamu emang pinter banget deh, Sayang…. Besok aku akan kasih tahu Manda untuk bilang ke papanya kalo aku ngerubah skenario. Mmuaaachh…” Kendra menghadiahkan sebuah kecupan di pipi Dion.
- - -
Salah satu sudu Amazon Café terlihat sibuk. Sekelompok orang terlihat sedang mengatur lampu, memeriksa perlengkapan kamera, pelayan café sibuk mempercantik sebuah meja. Di sudut lain, di satu ruang kerja, tampak seorang gadis sedang didandani oleh penata rias.
Sementara, di sudut kota Jakarta, seorang pemuda bingung memilih baju yang ada di lemarinya. Baju-baju bertebaran di atas tempat tidur. Kelihatan sekali pemuda itu gugup.
- - -
Kendra asyik mematut dirinya di depan cermin. Wajahnya sudah cantik. Gaun malam yang cantik juga sudah membalut tubuhnya. Seulas senyum menghias wajahnya, puas dengan penampilannya.
Diraihnya telepon selular yang ada di tasnya, lalu ia menelepon seseorang yang ditunggunya malam itu. Tapi, buru-buru dimatikan teleponnya. Ia hampir lupa dengan peraturan yang ia buat sendiri.
Dua hari yang lalu, Kendra minta Dion untuk tidak menghubunginya dan tidak bertemu dengannya. Kata Kendra, “Biar pas ketemu, kita bener-bener kangen, dan seolah bener-bener lagi memedam rindu gitu
- - -
Dion memasuki Amazon Café dengan gugup. Ditemani Tesha, ia melangkah dengan ragu-ragu. Menurut Kendra, ia harus bersikap santai, seolah tidak tahu apa-apa. Begitu sampai di dalam dan bertemu Kendra, ia harus berpura-pura kaget dan memasang tampang aku-tidak-mengerti-dan-sangat-kaget.
Sementara di dalam, Kendra juga sudah bersiap-siap, segera setelah menerima telepon dari Tesha yang mengabarkan kedatangan Dion.
Kesibukan di dalam Amazon Café pun dimulai. Semua berada dalam posisinya masing-masing. Kendra berdiri tidak jauh dari lobby, agak tersembunyi, sambil memegang sebuah boneka beruang kecil. Suasana café sangat tenang, malah cenderung sunyi. Pengunjung lain seolah mengerti akan apa yang sedang terjadi. Bahkan mereka menunggu moment bersejarah itu dan memberi Kendra semangat. Kendra berusaha bersikap setenang mungkin, meskipun jantungnya berdetak lebih kencang dari yang seharusnya.
Ketika Dion memasuki café agak gelap itu, disambut alunan lagu ‘Ijinkan Aku Menyayangimu’-nya Iwan Fals.
Andai kau ijinkan
walau sekejap memandang
kubuktikan kepadamu
aku memiliki rasa
………
“Duh, koq, bisa-bisanya Kendra milih lagu ini?” Dion melangkah masuk, sementara matanya mencari sosok Kendra.
Tiba-tiba, lampu menyala, menerpa wajah Dion. Dion sempat tersentak kaget. Lebih kaget lagi melihat ternyata begitu banyak orang yang berdiri di sekitar area itu. Kendra muncul dari balik kerumunan itu.
Dion terhenyak memandang Kendra yang begitu cantik, dan berkata dalam hati, “Gila, ternyata Kendra serius banget nyiapin ini.”
Dino melangkah dengan wajah yang kebingungan dan tegang. Persis seperti yang diharapkan Kendra.
Kendra berhenti, tepat di depan Dion yang masih menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Kendra langsung menyapa Dion, dengan tatapan malu-malu dan penuh rindu.
“Dion….”
“Kendra…”
Lalu keduanya terdiam. Kendra masih tetap dengan senyumnya, berhenti sejenak, menata suasana hatinya.
“Dion… aku sengaja minta Tesha ajak kamu ke sini. Kamu pasti ingat banget kan, ini tempat bersejarah kita.”
Dion hanya mengangguk.
Kendra menarik napasnya, lalu melanjutkan, “Aku sedih banget waktu kita harus putus. Padahal aku masih sayang banget sama kamu. Aku nyesel karena lebih milih orang lain dibanding kamu. Tapi, aku juga cemburu liat kamu dekat-dekat sama temen kuliah kamu. Kamu jadi kaya’ gak ada waktu lagi buat aku.”
Dion mendengar penuturan Kendra, “Bisa banget sih, Kendra ngarang beginian.”
Kendra masih bicara, “Tapi, ternyata aku salah. Kamu masih tetap yang terbaik untuk aku. Aku pengen kita balik lagi, Di. Seperti dulu. Aku kangen banget sama kamu. Aku masih sayang banget sama kamu.”
Kamera silih berganti menyoroti wajah Kendra dan Dion, merekam ekspresi wajah mereka. Kendra begitu menghayati perannya sebagai gadis yang ingin kembali dengan mantan pacarnya, sementara Dion lumayan pas berperan jadi pemuda yang kebingungan. Dion bingung dalam artinya yang sebenarnya tanpa harus akting.
“Aku sengaja minta bantuan Tesha untuk ajak kamu ke sini. Ke tempat kita jadian dulu. Bahkan aku udah atur makan malam di meja yang sama ketika kamu bilang sayang sama aku.”
Kendra menggenggam tangan Dion dengan hangat, meremasnya dengan penuh kerinduan. Dari tadi, Dion belum mengucapkan sepatah kata pun selain menyapa Kendra.
“Sekarang, Di… aku pengen denger jawaban kamu. Apa kamu mau menerima aku lagi?”
Dion gelagapan. Kendra belum selesai.
“Di tanganku, ada boneka beruang kecil. Kamu ingat Momo kan? Ini Momo, boneka beruang kecil yang kamu kasih ke aku.” Sejenak Kendra diam, bersiap-siap dengan ‘tembakan’ terakhirnya, “Kalau kamu terima permintaanku, kamu ambil Momo dengan tangan kanan kamu. Kalau kamu tolak, kamu ambil dengan tangan kiri.”
Giliran Dion yang harus bicara, memberi jawaban. Semua diam… tegang menunggu jawaban Dion. Termasuk Kendra, meskipun ia tahu ini semua hanya rekayasa.
Lama Dion terdiam… mengulur waktu… membangkitkan rasa penasaran orang. Beberapa orang mulai tak sabar, ada yang berseru, “Ayo, jawab dong!”
Pelan-pelan, seolah terdengar koor, yang berseru, “Terima… Terima… Terima…!”
Kendra menatap Dion dengan penuh harap. Sementara Dion masih diam.
Tiba-tiba, dengan perlahan tapi pasti, tangan Dion terulur. Mulut Kendra terbuka… Dion mengambil boneka itu dengan tangan kiri!
Kendra kaget, dari mulutnya terdengar suara, yang lebih mirip desis tak percaya, “Dion…??? Koq…???”
Kendra menatap Dion tak percaya, ia bertanya lagi, “Kamu kenapa? Kan gak seharusnya begini?” Meskipun berbisik, suara Kendra terdengar jelas karena pengeras suara. Kilatan bening mulai tampak menggenang di mata Kendra.
Kali ini Dion bersuara, ia menjelaskan semua dengan suara mantap.
“Ma’af, Ke, semuanya gak berjalan seperti yang kamu mau. Dua hari kita gak bicara, gak ketemu, membuat aku berpikir. Ternyata, tanpa kehadiran kamu, aku merasa lebih nyaman.”
Kendra terhenyak. “Apa maksud kamu? Kamu udah gak sayang sama aku? Kamu udah punya pacar baru? Kamu selingkuh?” Pertanyaan Kendra terlontar bertubi-tubi.
“Nggak, Ke, aku gak punya pacar baru. Aku sayang sama kamu. Tapi, kadang aku gak tahan dengan sikap manja kamu. Buat aku, terlalu berlebihan. Aku harus selalu nurut sama kamu, kalo gak kamu akan marah… ngambek… nangis… Aku pengen kamu jadi sosok yang lebih dewasa, meskipun kamu manja.”
Kendra mulai menangis, dan hanya bisa berkata, “Kamu jahat, Dion. Kenapa kamu memilih mengatakan ini semua justru di saat sekarang? Kamu sengaja bikin aku malu.”
“Ma’af, Ke. Ma’afin aku, Kendra.”
- - -
Dion menatap foto Kendra di kamarnya. Dion tersenyum, ada kelegaan terpancar di wajahnya.
Sementara itu, Kendra berbaring telungkup di ranjangnya. Matanya sembap. Di buku hariannya, ia menulis,
“Kenapa Dion tega banget sama aku? Aku udah bilang ke semua temenku untuk nonton acara ini kalo udah tayang. Nyebelin banget…!!
Jangan-jangan Dion emang udah punya pacar baru. Huh… pasti cewek-cewek centil di kampusnya. Huh… awas, deh… aku akan selidiki kamu, Dion!
Mmm… besok aku harus bilang sama Manda, minta dia bilang sama papanya kalo, aku pengen ikutan acara H2C, aku mau nyelidikin Dion! Biar aku bisa masuk tv lagi…!”
06.05.09
Dion menatapnya lalu berkata dengan nada segan, “Mau ngapain sih ikut acara begituan? Mau numpang ngetop?”
Kendra cemberut, keningnya berkerut. Sebal mendengar perkataan Dion. “Kenapa sih, dari tadi kamu nyela aku terus? Kalo kamu gak mau ikutan, ya udah… aku tinggal cari cowok lain yang bersedia,” ancam Kendra.
Dion ingin tersenyum melihat tingkah Kendra yang manja, tapi ditahannya, takut gadisnya itu ngamuk lagi. “Aku tuh cuma tanya, kenapa juga kita harus ikut acara itu. Kita kan udah jadian, gak perlu lagi acara ‘tembak-menembak’ kaya’ gitu.”
Masih manyun, Kendra menjawab, “Ya, iya sih.. salah satunya biar ngetop gitu, deh. Tapi, yang penting kan hadiahnya, Honey. Lumayan lho, kalo terpilih jadi ‘Pejuang Favorit’.”
Dion mendengar ocehan Kendra dengan setengah hati.
“Perbedaan ‘kasta’,” begitu kata Dion dalam hati, setiap dia berusaha mengerti sikap Kendra. Bukan karena masalah status keuangan, tapi karena perbedaan umur yang cukup jauh. Dion adalah mahasiswa tingkat dua. Bisa dibilang lumayan ganteng dan menjadi incaran mahasiswi di kampusnya. Itu yang membuat sikap Kendra jadi cemburuan dan manja. Sementara itu, Kendra sendiri masih duduk di kelas 2 SMU.
“Dioonnn… kamu dengerin aku gak sih?” teriak Kendra, sambil mencubit lengan Dion.
Dion kaget, tersadar dari lamunannya. Gelagapan Dion menjawab, “Eh…ehh… iya. Jadi gimana, Sayang?”
Pertanyaan Dion disambut dengan rajukan Kendra, “Hu-uh… dari tadi aku ngoceh, ternyata dicuekin aja sama kamu!”
“Ahhh…” Dion mendesah dalam hati, lalu menjawab, “Aku bukan gak denger, cuma masih sedikit belum ngerti.”
“Kamu setuju gak kita ikutan acara itu?”
“Buat apa sih, Ke? Dan gimana caranya?”
“Gampang… kita kan tinggal pura-pura aja. Aku udah pikirin semua skenarionya.”
“Terus, gimana daftarnya?”
“Itu gampang juga, kebetulan papa Manda, kerja di rumah produksi acara itu.”
Dion menjawab sambil menggaruk kepalanya, “Kamu atur aja deh, nanti aku tinggal ikutin aja skenario kamu itu.”
Kendra tersenyum lebar, “Kemenangan ada di pihakku.” Saking senangnya, buru-buru dia memeluk Dion sambil berseru, “Nahhh… gitu dong, Sayang!”
Selama seminggu, tiada hari tanpa pembicaraan tentang acara ‘Katakan Cinta’. Dion sampai bosan mendengarnya. Sementara Kendra tetap antusias.
“Sayang, aku udah daftarin kita berdua lho. Aku udah kasih foto kita. Rencananya…” Kendra membuka lembaran buka hariannya yang warna-warni itu, “Rencananya kita…”
Ketika tahu Dion tidak bereaksi, Kendra menarik komik Detektif Conan yang sedang dibaca Dion.
“Aduh, Ke…!” kata Dion gusar, “Kamu kan liat aku lagi baca!”
“Kamu juga tahu aku lagi cerita kan?” balas Kendra tak kalah galak.
“Aku tahu… aku dengar.. Kamu lagi membahas usul kamu yang konyol itu!”
“Oooo… jadi gitu… sekarang kamu bilang konyol. Katanya kamu kan udah setuju, Di.”
Kendra mulai cemberut, sebentar lagi matanya berkaca-kaca, menahan kecewa dan minta diperhatikan.
“Ya, kejadian lagi deh. Gini nih, kalau pacaran sama anak SMU.” Meski mengeluh, ada rasa sesal dalam hati Dion sudah membuat Kendra merajuk. “Ma’af ya, Ke… tapi sikap kamu yang berlebihan bikin aku jadi senewen.”
Kendra diam, menunggu Dion membujuknya lagi. Dan Dion tahu, dia harus terus membujuk Kendra biar tidak keterusan ngambeknya. “Kamu cerita lagi, deh Ke… pelan-pelan, biar aku lebih ngerti… “
Dengan gaya masih sok ngamek, Kendra bercerita, “Jadi, menurut skenario yang aku udah bikin, ceritanya kita tuh udah putus, tapi kamu masih sayang sama aku…”
“Masih sayang? Gak perlu skenario yang aneh, memang aku masih sayang sama kamu kan, Ke?” Dion memotong cerita Kendra.
“Duhhh… Dionnn…!” Kendra setengah berteriak kesal, “Denger dulu sampai selesai, dong!”
“Ok…ok… lanjut deh.” Dion terkikik melihat Kendra marah-marah.
“Terus, kamu tuh pengen balik lagi sama aku. Jadilah, kamu minta bantuan Tesha untuk ngajak aku ke tempat kita jadian.”
“Ngapain kita harus ngajak Tesha?” tanya Dion menyebut nama adiknya yang juga sahabat Kendra itu.
“Ya, iya dong… kamu perlu perantara untuk ngajak aku ke sana. Aku masih sedih karena putus sama kamu dan kamu mau bikin surprise buat aku.”
Dion manggut-manggut mendengar penuturan Kendra.
Kendra masih terus bicara, “Lalu…. di Amazon Café itu, kamu udah nyiapin acara makan malam yang romantiissss banget. Candle light dinner,” Kendra berkata sambil tersenyum-senyum sendiri, “Nanti, ceritanya aku, kaget ngeliat kamu di sana… terus… kamu bilang deh, gimana perasaan kamu sama aku…. Kamu bilang, kalo pengen balik lagi sama aku.” Kendra tersenyum puas menutup penjelasannya. “Gimana? Ok kan, Sayang?” tanya Kendra.
Dion takjub mendengar rencana Kendra. “Gila….” Hanya itu yang keluar dari mulut Dion.
“Koq gila sih? Aku yang gila atau rencananya yang gila?”
“Dua-duanya…” Melihat Kendra siap-siap melancarkan aksi manyunnya, Dion buru-buru meralat, “Ups.. bukan gitu, Ke… Rencana kamu hebat koq…” Lalu, Dion bertanya dengan gaya sok serius, “Tapi, kenapa harus aku yang ngajak kamu balik? Kenapa gak ceritanya kamu yang masih sayang banget sama aku?”
“Ihhh… gengsi dong… Emang aku cewek apaan?”
“Kan gak pa-pa, Ke?”
“Gak mau ah… Kesannya aku yang pengen banget balik sama kamu. Gengsi dong…”
“Lho.. Emansipasi dong, Sayang…. Lagian nih, kalo ‘pejuang’nya itu cewek, orang-orang bakal lebih gampang jatuh hati, kasihan sama kamu. Peluang kamu jadi ‘Pejuang Favorit’ jadi lebih besar.”
Kendra diam, terlihat berpikir, lalu manggut-manggut, “Iya juga ya…” Lalu, dia menggamit tangan Dion, “Kamu emang pinter banget deh, Sayang…. Besok aku akan kasih tahu Manda untuk bilang ke papanya kalo aku ngerubah skenario. Mmuaaachh…” Kendra menghadiahkan sebuah kecupan di pipi Dion.
- - -
Salah satu sudu Amazon Café terlihat sibuk. Sekelompok orang terlihat sedang mengatur lampu, memeriksa perlengkapan kamera, pelayan café sibuk mempercantik sebuah meja. Di sudut lain, di satu ruang kerja, tampak seorang gadis sedang didandani oleh penata rias.
Sementara, di sudut kota Jakarta, seorang pemuda bingung memilih baju yang ada di lemarinya. Baju-baju bertebaran di atas tempat tidur. Kelihatan sekali pemuda itu gugup.
- - -
Kendra asyik mematut dirinya di depan cermin. Wajahnya sudah cantik. Gaun malam yang cantik juga sudah membalut tubuhnya. Seulas senyum menghias wajahnya, puas dengan penampilannya.
Diraihnya telepon selular yang ada di tasnya, lalu ia menelepon seseorang yang ditunggunya malam itu. Tapi, buru-buru dimatikan teleponnya. Ia hampir lupa dengan peraturan yang ia buat sendiri.
Dua hari yang lalu, Kendra minta Dion untuk tidak menghubunginya dan tidak bertemu dengannya. Kata Kendra, “Biar pas ketemu, kita bener-bener kangen, dan seolah bener-bener lagi memedam rindu gitu
- - -
Dion memasuki Amazon Café dengan gugup. Ditemani Tesha, ia melangkah dengan ragu-ragu. Menurut Kendra, ia harus bersikap santai, seolah tidak tahu apa-apa. Begitu sampai di dalam dan bertemu Kendra, ia harus berpura-pura kaget dan memasang tampang aku-tidak-mengerti-dan-sangat-kaget.
Sementara di dalam, Kendra juga sudah bersiap-siap, segera setelah menerima telepon dari Tesha yang mengabarkan kedatangan Dion.
Kesibukan di dalam Amazon Café pun dimulai. Semua berada dalam posisinya masing-masing. Kendra berdiri tidak jauh dari lobby, agak tersembunyi, sambil memegang sebuah boneka beruang kecil. Suasana café sangat tenang, malah cenderung sunyi. Pengunjung lain seolah mengerti akan apa yang sedang terjadi. Bahkan mereka menunggu moment bersejarah itu dan memberi Kendra semangat. Kendra berusaha bersikap setenang mungkin, meskipun jantungnya berdetak lebih kencang dari yang seharusnya.
Ketika Dion memasuki café agak gelap itu, disambut alunan lagu ‘Ijinkan Aku Menyayangimu’-nya Iwan Fals.
Andai kau ijinkan
walau sekejap memandang
kubuktikan kepadamu
aku memiliki rasa
………
“Duh, koq, bisa-bisanya Kendra milih lagu ini?” Dion melangkah masuk, sementara matanya mencari sosok Kendra.
Tiba-tiba, lampu menyala, menerpa wajah Dion. Dion sempat tersentak kaget. Lebih kaget lagi melihat ternyata begitu banyak orang yang berdiri di sekitar area itu. Kendra muncul dari balik kerumunan itu.
Dion terhenyak memandang Kendra yang begitu cantik, dan berkata dalam hati, “Gila, ternyata Kendra serius banget nyiapin ini.”
Dino melangkah dengan wajah yang kebingungan dan tegang. Persis seperti yang diharapkan Kendra.
Kendra berhenti, tepat di depan Dion yang masih menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Kendra langsung menyapa Dion, dengan tatapan malu-malu dan penuh rindu.
“Dion….”
“Kendra…”
Lalu keduanya terdiam. Kendra masih tetap dengan senyumnya, berhenti sejenak, menata suasana hatinya.
“Dion… aku sengaja minta Tesha ajak kamu ke sini. Kamu pasti ingat banget kan, ini tempat bersejarah kita.”
Dion hanya mengangguk.
Kendra menarik napasnya, lalu melanjutkan, “Aku sedih banget waktu kita harus putus. Padahal aku masih sayang banget sama kamu. Aku nyesel karena lebih milih orang lain dibanding kamu. Tapi, aku juga cemburu liat kamu dekat-dekat sama temen kuliah kamu. Kamu jadi kaya’ gak ada waktu lagi buat aku.”
Dion mendengar penuturan Kendra, “Bisa banget sih, Kendra ngarang beginian.”
Kendra masih bicara, “Tapi, ternyata aku salah. Kamu masih tetap yang terbaik untuk aku. Aku pengen kita balik lagi, Di. Seperti dulu. Aku kangen banget sama kamu. Aku masih sayang banget sama kamu.”
Kamera silih berganti menyoroti wajah Kendra dan Dion, merekam ekspresi wajah mereka. Kendra begitu menghayati perannya sebagai gadis yang ingin kembali dengan mantan pacarnya, sementara Dion lumayan pas berperan jadi pemuda yang kebingungan. Dion bingung dalam artinya yang sebenarnya tanpa harus akting.
“Aku sengaja minta bantuan Tesha untuk ajak kamu ke sini. Ke tempat kita jadian dulu. Bahkan aku udah atur makan malam di meja yang sama ketika kamu bilang sayang sama aku.”
Kendra menggenggam tangan Dion dengan hangat, meremasnya dengan penuh kerinduan. Dari tadi, Dion belum mengucapkan sepatah kata pun selain menyapa Kendra.
“Sekarang, Di… aku pengen denger jawaban kamu. Apa kamu mau menerima aku lagi?”
Dion gelagapan. Kendra belum selesai.
“Di tanganku, ada boneka beruang kecil. Kamu ingat Momo kan? Ini Momo, boneka beruang kecil yang kamu kasih ke aku.” Sejenak Kendra diam, bersiap-siap dengan ‘tembakan’ terakhirnya, “Kalau kamu terima permintaanku, kamu ambil Momo dengan tangan kanan kamu. Kalau kamu tolak, kamu ambil dengan tangan kiri.”
Giliran Dion yang harus bicara, memberi jawaban. Semua diam… tegang menunggu jawaban Dion. Termasuk Kendra, meskipun ia tahu ini semua hanya rekayasa.
Lama Dion terdiam… mengulur waktu… membangkitkan rasa penasaran orang. Beberapa orang mulai tak sabar, ada yang berseru, “Ayo, jawab dong!”
Pelan-pelan, seolah terdengar koor, yang berseru, “Terima… Terima… Terima…!”
Kendra menatap Dion dengan penuh harap. Sementara Dion masih diam.
Tiba-tiba, dengan perlahan tapi pasti, tangan Dion terulur. Mulut Kendra terbuka… Dion mengambil boneka itu dengan tangan kiri!
Kendra kaget, dari mulutnya terdengar suara, yang lebih mirip desis tak percaya, “Dion…??? Koq…???”
Kendra menatap Dion tak percaya, ia bertanya lagi, “Kamu kenapa? Kan gak seharusnya begini?” Meskipun berbisik, suara Kendra terdengar jelas karena pengeras suara. Kilatan bening mulai tampak menggenang di mata Kendra.
Kali ini Dion bersuara, ia menjelaskan semua dengan suara mantap.
“Ma’af, Ke, semuanya gak berjalan seperti yang kamu mau. Dua hari kita gak bicara, gak ketemu, membuat aku berpikir. Ternyata, tanpa kehadiran kamu, aku merasa lebih nyaman.”
Kendra terhenyak. “Apa maksud kamu? Kamu udah gak sayang sama aku? Kamu udah punya pacar baru? Kamu selingkuh?” Pertanyaan Kendra terlontar bertubi-tubi.
“Nggak, Ke, aku gak punya pacar baru. Aku sayang sama kamu. Tapi, kadang aku gak tahan dengan sikap manja kamu. Buat aku, terlalu berlebihan. Aku harus selalu nurut sama kamu, kalo gak kamu akan marah… ngambek… nangis… Aku pengen kamu jadi sosok yang lebih dewasa, meskipun kamu manja.”
Kendra mulai menangis, dan hanya bisa berkata, “Kamu jahat, Dion. Kenapa kamu memilih mengatakan ini semua justru di saat sekarang? Kamu sengaja bikin aku malu.”
“Ma’af, Ke. Ma’afin aku, Kendra.”
- - -
Dion menatap foto Kendra di kamarnya. Dion tersenyum, ada kelegaan terpancar di wajahnya.
Sementara itu, Kendra berbaring telungkup di ranjangnya. Matanya sembap. Di buku hariannya, ia menulis,
“Kenapa Dion tega banget sama aku? Aku udah bilang ke semua temenku untuk nonton acara ini kalo udah tayang. Nyebelin banget…!!
Jangan-jangan Dion emang udah punya pacar baru. Huh… pasti cewek-cewek centil di kampusnya. Huh… awas, deh… aku akan selidiki kamu, Dion!
Mmm… besok aku harus bilang sama Manda, minta dia bilang sama papanya kalo, aku pengen ikutan acara H2C, aku mau nyelidikin Dion! Biar aku bisa masuk tv lagi…!”
06.05.09
2 Comments:
At 11:14 PM, "emas indri" said…
wuiiihh...makin pinter aja bikin cerita.... ;)
At 9:11 PM, Anonymous said…
Bwahahaha..lucunya tragis fe, tp baca terakhirnya ga ku ku...ikutan H2C ? pas benerr..kirim ke Cerkit fe, gw rasa ini dimuat deh beneran !
Post a Comment
<< Home