ceritaceritaku

my stories... my dreams... my imaginations....

Daisypath Ticker

Thursday, July 20, 2006

[Book Review] Snow Flower

Photobucket - Video and Image Hosting
Snow Flower
Penulis: Lisa See
Penterjemah: A. Rahartati Bambang Haryo
Qanita, Cet. I Juni 2006
556 Hal.

Membaca buku ini, membuat saya bersyukur bahwa saya hidup di jaman ketika perempuan dihargai hak-hak dan pikirannya, didengarkan perasaan dan keinginannya. Snow Flower sedikit banyak memberi gambaran sebuah sejarah Cina di abad 19, ketika perempuan harus menjalani berbagai tradisi yang membatasi mereka sebagai manusia.

Lily, seorang anak perempuan dari keluarga miskin, dalam usia belia harus menjalani tradisi pengikatan kaki untuk mendapatkan bentuk kaki bunga lili yang sempurna. Kaki yang kecil mungil seperti bunga lili dipercaya akan membawa keberuntungan, bisa memikat laki-laki dan sangat berharga dibanding perempuan yang tidak menjalani tradisi pengikatan kaki, yang hanya disebut perempuan berkaki besar dan tidak akan dipilih menjadi seorang istri. Perempuan berkaki besar hanya akan menjadi seorang pelayan. Bahkan, seorang perempuan dengan bentuk kaki yang tidak sempurna, hanya akan menjadi seorang ‘menantu kecil’.

Ternyata, bentuk kaki yang sempurna dan memilik seorang laotong, akan meningkatkan ‘harga’ seorang perempuan untuk mendapatkan jodoh yang baik. Namun, tidak semua perempuan bisa mendapatkan bentuk bunga lili emas. Salah mengikat kaki, hanya akan membuat penderitaan anak perempuan semakin besar. Kesakitan, infeksi malah mendatangkan kematian, atau jika bertahan, kaki rusak - seperti kaki Mama Lily. Tapi, Mama Lily selalu berkata, “Hanya melalui rasa sakit kaudapatkan kecantikan. Hanya melalui penderitaan kaudapatkan kedamaian.” (Hal. 59)

Ketika seorang peramal datang ke rumah Lily - peramal diperlukan untuk menentukan kapan sebaiknya proses pengikatan kaki di mulai - ia melihat ada sesuatu yang istimewa dalam diri Lily. Maka dipanggillah seorang Mak Comblang, Madame Wang, untuk memastikan keistimewaan itu. Sebuah keputusan pun dibuat, Lily akan mendapatkan seorang laotong, kembaran sehati, seorang gadis cilik yang punya delapan sifat yang sama dengan Lily, yang menjalani pengikatan kaki di hari yang sama, yaitu Bunga Salju.

"Saya tahu di rumahmu ada seorang gadis berwatak baik dan wanita-wanita yang senang belajar. Kau dan aku lahir pada tahun dan hari yang sama. Mungkinkah kita jadi kembaran sehati?" (Hal. 89). Itulah kalimat pertama yang dituliskan Bunga Salju dalam kipas sutra yang dikirimkan kepada Lily.

Bunga Salju berasal dari keluarga yang tingkatannya lebih tinggi dari Lily. Tapi, hal itu tidak membatasi persahabatan sehati mereka. Bersama Bunga Salju, Lily menjalani hari-hari bagaimana sakitnya di awal-awal pengikatan kaki, pergi ke Kuil Gupo setiap tahun, membordir dan menjahit di ruang duduk lantai atas, sama-sama menunggu datangnya perjodohan dan pernikahan, membuat mahar, dan yang paling penting saling berbagi rahasia hati melalui sebuah tulisan di kipas sutra, nu shu. Lewat nu shu, mereka saling mengungkapkan cerita, perasaan, kebahagiaan bahkan kesedihan.

Hari-hari Anak Gadis, Hari-hari Jepit Rambut, Hari-hari Beras dan Garam, mereka lewati bersama. Setelah menikah, kehidupan Lily lebih baik dibandingkan kehidupan Bunga Salju. Lily menikah dengan anak seorang pejabat kerajaan di Tongkou, sementara Bunga Salju hanya menikah dengan seorang tukang jagal. Sebuah rahasia tentang latar belakang Bunga Salju terungkap setelah Lily menikah.

Jawaban dari berbagai pertanyaan terungkap, mengapa hanya Bulan Salju yang berkunjung ke rumah Lily? mengapa Lily tidak diperkenankan datang ke rumah Bulan Salju? siapa sebenarnya Madame Wang? mengapa justru Lily, yang dari keluarga miskin mendapatkan jodoh yang terpandang? mengapa jodoh Bulan Salju hanya seorang tukang jagal?

Meskipun ditentang oleh Ibu Mertua Lily yang memandang rendah Bulan Salju, Lily tetap berusaha setia pada laotong-nya itu. Tidak peduli bagaimana buruk keadaannya, Bunga Salju tetap kembaran sehati, dan mereka sudah berjanji dan menulis kontrak di Kuil Gupo untuk saling setia, tidak ada satu pun yang dapat memisahkan mereka.

Tapi, salah penafsiran membaca nu shu, membuat persahabatan mereka terputus. Kesombongan dan rasa egois membuat semuanya hancur. Bertahun-tahun mereka tidak saling berkirim kabar berita lagi, tidak saling mengunjungi dan malah menyimpan dendam di hati. Sampai akhirnya terungkap kebenaran, semua sudah terlambat, dan hanya tinggal penyesalan.

Di hari tua, Lily menuturkan kisah hidupnya, bagaimana cinta dan sayangnya ia kepada laotong­-nya yang melebihi dari sebuah pernikahan.

Dalam kisah ini, tersirat kesan, perempuan hanya dianggap sebagai 'pelayan' laki-laki. Tugasnya hanyalah melahirkan anak laki-laki, sementara anak perempuan dianggap lebih buruk daripada binatang. Tidak hanya berperan sebagai istri, perempuan juga harus melayani ibu mertua dan ipar-ipar, kegagalan memuaskan hati ibu mertua, berarti gagal pula sebagai menantu yang baik. Jadi, pada prinsipnya adalah "Patuh! Patuh! Patuh! Sesudahnya lakukan yang kauinginkan." (Hal. 458)

Sebuah kisah yang indah, menggambarkan sebuah cinta. Bahasa-bahasa yang halus membuat kisah ini begitu ‘menyentuh’.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home