[Book Review] Filosofi Kopi
Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Dee
Truedee Books & Gagas Media
Cet. I Pebruari 2006
134 hal.
Aku bukanlah penggemar kopi, penikmat kopi, apalagi mengerti tentang perbedaan rasa kopi yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuanku tentang kopi hanya sebatas cappuccino atau kopi sachet dari berbagai merk. Aku lebih suka teh daripada si hitam yang pahit ini.
Tapi, ada rasa tidak sabar untuk mencicipi ‘Filosofi Kopi’ yang ditawarkan Dee. Kopi pun berfilosofi? Sepertinya kali ini Dee ingin mengajak pembacanya menikmati karyanya dengan santai, sambil ngopi-ngopi mungkin. Kata Dee dalam cuap-cuapnya, semua ini masih tentang ‘cinta’. Dua di antaranya – ‘Rico de Coro’ dan ‘Sikat Gigi’ - sudah pernah dihidangkan di media. Ah, akankan menjadi ‘Cinta dalam Secangkir (atau bercangkir-cangkir) Kopi?’
Kubuka perlahan buku ini, kucoba membayangkan diriku ada di sebuah kafe. Duduk bersama seorang teman, ngobrol santai di sofa empuk, di meja ada cangkir kopi.
Lalu, kucoba mencicipi ‘Filosofi Kopi’. Ah… ketika kuhirup aromanya dan kusesapi rasanya, bisa kutangkap sebuah kegetiran dari seorang barista, ketika ia merasa masih ada kopi lain yang bisa mengalahkan masterpiece-nya yang sudah dianggap sempurna. Cerita seorang pemuda bernama Ben yang berkelana keliling dunia demi mempelajari ‘dunia perkopian’, lalu ia membuka ‘Filosofi Kafe’ yang berslogan ‘Temukan Diri Anda di Sini’ (hal. 7), tapi ternyata kesempurnaan itu justru dikalahkan oleh kopi dari desa yang terpencil. Memang, walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya (hal. 27).
Hmm… kujilat bibirku yang masih menyisakan rasa pahit tapi manis, tiba-tiba Hera datang, mengajakku ‘Mencari Herman’. Gadis ini… dia hanya mau berkenalan dengan pria bernama Herman, bukan Hermawan, Hermanto… hanya Herman. Tapi, memang, jadi manusia tidak boleh serakah, karena satu akan menggenapkan, tapi dua melenyapkan (hal. 31). Hera pun pergi…
Belum lagi rasa sedihku hilang, aku disodorkan sepucuk ‘Surat yang Tak Pernah Sampai’. Surat dari seseorang yang terombang-ambing perasaannya, bencikah, cintakah dia pada pujaannya.
Tiba-tiba teman ngopi-ku berucap, “Jadilah ‘Salju Gurun’?” Aku terdiam, bertanya dalam hati, “Apa maksudnya?”. Lalu ia mengutip sebuah kalimat, “Kamu harus berani putih meski sendiri, karena kau… berbeda (hal. 48).” Ahh… pastinya mukaku bersemu merah…
Cepat-cepat kuteguk lagi sedikit kopi yang masih tersisa di cangkir, kucoba menepis rasa malu. Lalu, teman ngopi-ku menyerahkan ‘Kunci Hati’. Aku bertanya lagi dalam hati, “Apa lagi ini?”. Lagi, ia mengutip, “ “Dalam raga ada hati, dan dalam hati, ada satu ruang tak bernama (hal. 49). Inilah kuncinya.” Kugenggam erat kunci pemberiannya.
Lalu, ia bercerita, katanya dalam perjalanan ke kafe, aku tertidur di mobil, “Tadi, ‘Selagi Kau Lelap’, sambil menyetir sesekali aku memandangmu.” Lagi-lagi ia membuatku malu. Katanya lagi, “Memandangmu membuatku semakin menghargai dirimu. Lalu kau berkhayal bahwa tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam… mereka masih bisa tersenyum dan saling menyapa ‘selamat pagi’ (hal. 54).
Aku tertawa, lalu berkata, “Kata Mama, kalau bangun tidur, ‘Sikat Gigi’ dulu.” Aku pun bercerita tentang Egi, seorang gadis yang menjadikan sikat gigi sebagai sebuah kegiatan untuk merenung, melarikan diri, melupakan cinta masa lalunya. Egi bilang, “ Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit…Cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain.” (hal. 58). Menarik juga…
Tiba-tiba, kami berdua, teman ngopi-ku dan aku, sama-sama merenung, berpikir tentang usia kita yang semakin bertambah, semua serba berubah, seolah sedang melintasi ‘Jembatan Zaman’. Ternyata bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya (hal. 67).
Teman ngopi-ku mengajakku berkhayal. Berandai menjadi ‘Kuda Liar’. Berlari bebas, tanpa diperbudak waktu. Andai bisa… tapi, kitalah yang ternyata lebih sering diperbudak waktu.
‘Sepotong Kue Kuning’ tersaji di meja. Teman ngopi-ku sedang sibuk dengan telepon genggamnya. Jadi kulanjutkan saja membaca cerita tentang Indi, yang rela menjadi perempuan kedua bagi Lei, lelaki yang sudah beristri. Cinta terkadang memang tidak rasional… tapi ternyata cinta juga bisa membuat seseorang jadi lebih mandiri ketika ia tersadar bahwa ia bisa mencinta tanpa takut kehilangan cinta (hal. 82)
Lama kularut dalam ‘Diam’. ‘Hidangan’ Dee semakin membuatku larut. Lalu, aku bertanya, “Apa bisa ‘Cuaca’ menggambarkan hati seseorang?” “Kenapa tidak?” katanya, “Tapi, jangan berbohong, karena bisa-bisa badai meletus. Entah menghangatkan atau menghanguskan.” (hal. 86)
Sambil menikmati potongan kue kuning, aku membaca kisah ‘Lara Lana’. Cerita ini cukup mengejutkan. Tentang kisah cinta yang tak sampai. Tapi, ada kejujuran di sana, kepasrahan, dan keberanian untuk menjadi beda (hal. 94).
Aku terus membaca kata-kata yang terpisah oleh ‘Spasi’. Spasi yang memberi makna pada huruf yang tersusun. Spasi-jarak-jeda, yang memberi ruang dalam napas, juga dalam cinta.
Bagai ‘Cetak Biru’, mimpi-mimpiku terus bergulir selagi aku menikmati karya yang tersaji. Satu demi satu batu mimpi tersusun rapi (hal. 99).
Suara teman ngopi-ku mengagetkanku, membuatku terjaga dari lamunan. “Ayo kita ke ‘Buddha Bar’,” ajaknya. Kuhabiskan kopi yang tersisa dalam cangkir, lalu segera mengikutinya. Suasana Buddha Bar memang berbeda dengan kafe yang baru saja kutinggalkan, sedikit lebih ‘menghentak’. sana aku bertemu Nelly, Probo, Omen, Jack dan Bejo. Lima sahabat dengan pribadi yang berbeda namun saling melengkapi. Perbedaan yang membuat mereka menyatu. Melebur manis di sudut itu (hal. 107)
Sajian Dee ditutup dengan sebuah kisah yang unik, kisah pangeran ‘Rico de Coro’. Kisah cinta yang memberi seulas senyum di bibirku. Ternyata memang cinta sejati tidak mengenal perbedaan. Cinta sejati, cinta yang tulus, dengan pengorbanan yang tak akan sia-sia. Sepertinya klise, tapi.. Dee menutup kisahnya dengan manis, hilanglah semua rasa pahit.
Kututup buku ‘Filosofi Kopi’. Lalu kubertanya dalam hati, “Apakah aku sudah lebih mengenal dunia perkopian?” Jawabannya adalah ‘Tidak’. Tapi, kucoba sesapi rasa yang tertinggal, dan aku tahu, hidup ini seperti kopi. Jangan selalu berharap untuk hal-hal yang manis saja, tapi bersiaplah menerima kepahitan. Dan ketika rasa pahit itu datang, cobalah resapi, maka perlahan rasa manis itu akan datang.
06.03.19
Truedee Books & Gagas Media
Cet. I Pebruari 2006
134 hal.
Aku bukanlah penggemar kopi, penikmat kopi, apalagi mengerti tentang perbedaan rasa kopi yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuanku tentang kopi hanya sebatas cappuccino atau kopi sachet dari berbagai merk. Aku lebih suka teh daripada si hitam yang pahit ini.
Tapi, ada rasa tidak sabar untuk mencicipi ‘Filosofi Kopi’ yang ditawarkan Dee. Kopi pun berfilosofi? Sepertinya kali ini Dee ingin mengajak pembacanya menikmati karyanya dengan santai, sambil ngopi-ngopi mungkin. Kata Dee dalam cuap-cuapnya, semua ini masih tentang ‘cinta’. Dua di antaranya – ‘Rico de Coro’ dan ‘Sikat Gigi’ - sudah pernah dihidangkan di media. Ah, akankan menjadi ‘Cinta dalam Secangkir (atau bercangkir-cangkir) Kopi?’
Kubuka perlahan buku ini, kucoba membayangkan diriku ada di sebuah kafe. Duduk bersama seorang teman, ngobrol santai di sofa empuk, di meja ada cangkir kopi.
Lalu, kucoba mencicipi ‘Filosofi Kopi’. Ah… ketika kuhirup aromanya dan kusesapi rasanya, bisa kutangkap sebuah kegetiran dari seorang barista, ketika ia merasa masih ada kopi lain yang bisa mengalahkan masterpiece-nya yang sudah dianggap sempurna. Cerita seorang pemuda bernama Ben yang berkelana keliling dunia demi mempelajari ‘dunia perkopian’, lalu ia membuka ‘Filosofi Kafe’ yang berslogan ‘Temukan Diri Anda di Sini’ (hal. 7), tapi ternyata kesempurnaan itu justru dikalahkan oleh kopi dari desa yang terpencil. Memang, walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya (hal. 27).
Hmm… kujilat bibirku yang masih menyisakan rasa pahit tapi manis, tiba-tiba Hera datang, mengajakku ‘Mencari Herman’. Gadis ini… dia hanya mau berkenalan dengan pria bernama Herman, bukan Hermawan, Hermanto… hanya Herman. Tapi, memang, jadi manusia tidak boleh serakah, karena satu akan menggenapkan, tapi dua melenyapkan (hal. 31). Hera pun pergi…
Belum lagi rasa sedihku hilang, aku disodorkan sepucuk ‘Surat yang Tak Pernah Sampai’. Surat dari seseorang yang terombang-ambing perasaannya, bencikah, cintakah dia pada pujaannya.
Tiba-tiba teman ngopi-ku berucap, “Jadilah ‘Salju Gurun’?” Aku terdiam, bertanya dalam hati, “Apa maksudnya?”. Lalu ia mengutip sebuah kalimat, “Kamu harus berani putih meski sendiri, karena kau… berbeda (hal. 48).” Ahh… pastinya mukaku bersemu merah…
Cepat-cepat kuteguk lagi sedikit kopi yang masih tersisa di cangkir, kucoba menepis rasa malu. Lalu, teman ngopi-ku menyerahkan ‘Kunci Hati’. Aku bertanya lagi dalam hati, “Apa lagi ini?”. Lagi, ia mengutip, “ “Dalam raga ada hati, dan dalam hati, ada satu ruang tak bernama (hal. 49). Inilah kuncinya.” Kugenggam erat kunci pemberiannya.
Lalu, ia bercerita, katanya dalam perjalanan ke kafe, aku tertidur di mobil, “Tadi, ‘Selagi Kau Lelap’, sambil menyetir sesekali aku memandangmu.” Lagi-lagi ia membuatku malu. Katanya lagi, “Memandangmu membuatku semakin menghargai dirimu. Lalu kau berkhayal bahwa tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam… mereka masih bisa tersenyum dan saling menyapa ‘selamat pagi’ (hal. 54).
Aku tertawa, lalu berkata, “Kata Mama, kalau bangun tidur, ‘Sikat Gigi’ dulu.” Aku pun bercerita tentang Egi, seorang gadis yang menjadikan sikat gigi sebagai sebuah kegiatan untuk merenung, melarikan diri, melupakan cinta masa lalunya. Egi bilang, “ Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit…Cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain.” (hal. 58). Menarik juga…
Tiba-tiba, kami berdua, teman ngopi-ku dan aku, sama-sama merenung, berpikir tentang usia kita yang semakin bertambah, semua serba berubah, seolah sedang melintasi ‘Jembatan Zaman’. Ternyata bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya (hal. 67).
Teman ngopi-ku mengajakku berkhayal. Berandai menjadi ‘Kuda Liar’. Berlari bebas, tanpa diperbudak waktu. Andai bisa… tapi, kitalah yang ternyata lebih sering diperbudak waktu.
‘Sepotong Kue Kuning’ tersaji di meja. Teman ngopi-ku sedang sibuk dengan telepon genggamnya. Jadi kulanjutkan saja membaca cerita tentang Indi, yang rela menjadi perempuan kedua bagi Lei, lelaki yang sudah beristri. Cinta terkadang memang tidak rasional… tapi ternyata cinta juga bisa membuat seseorang jadi lebih mandiri ketika ia tersadar bahwa ia bisa mencinta tanpa takut kehilangan cinta (hal. 82)
Lama kularut dalam ‘Diam’. ‘Hidangan’ Dee semakin membuatku larut. Lalu, aku bertanya, “Apa bisa ‘Cuaca’ menggambarkan hati seseorang?” “Kenapa tidak?” katanya, “Tapi, jangan berbohong, karena bisa-bisa badai meletus. Entah menghangatkan atau menghanguskan.” (hal. 86)
Sambil menikmati potongan kue kuning, aku membaca kisah ‘Lara Lana’. Cerita ini cukup mengejutkan. Tentang kisah cinta yang tak sampai. Tapi, ada kejujuran di sana, kepasrahan, dan keberanian untuk menjadi beda (hal. 94).
Aku terus membaca kata-kata yang terpisah oleh ‘Spasi’. Spasi yang memberi makna pada huruf yang tersusun. Spasi-jarak-jeda, yang memberi ruang dalam napas, juga dalam cinta.
Bagai ‘Cetak Biru’, mimpi-mimpiku terus bergulir selagi aku menikmati karya yang tersaji. Satu demi satu batu mimpi tersusun rapi (hal. 99).
Suara teman ngopi-ku mengagetkanku, membuatku terjaga dari lamunan. “Ayo kita ke ‘Buddha Bar’,” ajaknya. Kuhabiskan kopi yang tersisa dalam cangkir, lalu segera mengikutinya. Suasana Buddha Bar memang berbeda dengan kafe yang baru saja kutinggalkan, sedikit lebih ‘menghentak’. sana aku bertemu Nelly, Probo, Omen, Jack dan Bejo. Lima sahabat dengan pribadi yang berbeda namun saling melengkapi. Perbedaan yang membuat mereka menyatu. Melebur manis di sudut itu (hal. 107)
Sajian Dee ditutup dengan sebuah kisah yang unik, kisah pangeran ‘Rico de Coro’. Kisah cinta yang memberi seulas senyum di bibirku. Ternyata memang cinta sejati tidak mengenal perbedaan. Cinta sejati, cinta yang tulus, dengan pengorbanan yang tak akan sia-sia. Sepertinya klise, tapi.. Dee menutup kisahnya dengan manis, hilanglah semua rasa pahit.
Kututup buku ‘Filosofi Kopi’. Lalu kubertanya dalam hati, “Apakah aku sudah lebih mengenal dunia perkopian?” Jawabannya adalah ‘Tidak’. Tapi, kucoba sesapi rasa yang tertinggal, dan aku tahu, hidup ini seperti kopi. Jangan selalu berharap untuk hal-hal yang manis saja, tapi bersiaplah menerima kepahitan. Dan ketika rasa pahit itu datang, cobalah resapi, maka perlahan rasa manis itu akan datang.
06.03.19
0 Comments:
Post a Comment
<< Home